Minggu siang tanggal 4 November
2012, tanpa sengaja channel tv saya tertuju
pada salah satu program “Sebuah Nama Sebuah Cerita” di Kompas TV. Tampak
seorang narasumber sedang diwawancara saat itu. Seorang pria berambut panjang terikat
berwarna kuning keemasan, dengan begitu bersemangat menceritakan perjalanan
hidupnya kepada seorang wartawan yang tidak terlihat di layar. Berbagai kalimat
tegas dan berilmu yang keluar dari mulutnya tanpa terasa telah membuat saya
lupa untuk beralih ke program tv yang sebelumnya sedang saya tonton. Saya pun
memutuskan untuk menonton acara itu karena alasan klasik, lebih menarik.
Wajahnya tidak asing bagi saya,
dia adalah seorang vokalis dari grup musik yang karya-karyanya terdengar
seperti musik timur tengah. Melalui program tv tersebut, kemudian saya tahu bahwa
namanya adalah Mustafa Daood, vokalis sekaligus pemimpin dari grup musik Debu.
Debu adalah grup musik yang personil dan bahasa musiknya bernafaskan Islam,
terbentuk di Indonesia pada tahun 2001 dan bermarkas di Jakarta Selatan.
Anggota grup musik Debu sebagian
besar berasal dari sebuah keluarga yang sebelumnya bermukim di Amerika Serikat.
Ayah Mustafa merupakan pemimpin salah satu grup musik di Amerika yang sudah melanglang
buana di lebih dari 50 negara untuk bermusik. Darah musik inilah yang mengalir
dalam diri Mustafa dan saudara-saudaranya. Dalam sebuah mimpi di tengah malam,
Ayah Mustafa memperoleh semacam “petunjuk dari Tuhan” untuk pindah dan bermusik
ke Indonesia. Jadilah kemudian mereka sekeluarga pindah ke Indonesia, dimana
Makassar menjadi tempat pertama mereka untuk bermusik sebelum akhirnya pindah
ke Jakarta. Setelah menanti hampir 12 tahun, Mustafa dan anggota grup musik
Debu akhirnya menjadi warga negara Indonesia.
Lalu apa yang membuat dia menjadi
begitu “menarik” (bagi saya)??
Sebagai seorang anak, Mustafa
merupakan pribadi yang sangat hormat kepada ayahnya. Ketika ayahnya memutuskan
untuk pindah ke Indonesia, Mustafa baru berumur 17 tahun. Namun “perintah” ayah
nya untuk pindah ke Indonesia tetap dia jalankan, meskipun mereka sama sekali
tidak pernah mengetahui bentuk dan kondisi dari Indonesia sebelumnya, tidak ada
kenalan sama sekali di negeri yang asing itu. Dia ikhlas untuk melupakan
kenyamanan yang sudah cukup lama dia peroleh, melupakan teman-teman dan
sejumlah kenangan di kampung halamannya. Bahkan akhirnya dia menjadi salah satu
dari kelompok pertama yang berangkat lebih dulu ke Indonesia bersama ayah dan
salah satu saudaranya. Sama sekali tidak ada keraguan untuk melaksanakan apa
yang diinginkan ayahnya.
Tanpa dia sadari, akhirnya
Mustafa muda, jatuh cinta kepada negeri Bhineka Tunggal Ika ini. Keramahan
masyarakat Indonesia, mudahnya memperoleh makanan halal, dan suara adzan yang
dapat mereka dengar 5 kali sehari menjadi daya tarik tersendiri bagi Mustafa
dan saudara-saudara nya untuk menetap dan bahkan mengajukan permohonan untuk
menjadi Warga Negara Indonesia.
“Saya
sudah terlanjur jatuh cinta dengan Indonesia, meskipun harus menunggu sampai 20
tahun untuk menjadi WNI, saya pikir itu adalah hal yang layak untuk ditunggu”.
Masih sebesar itukah kebanggaan
kita akan Indonesia??
Sebagai seorang kakak, suami dan
saudara, Mustafa sangat bertanggung jawab terhadap adik, istri dan
saudara-saudaranya. Dengan kerja keras dia membangun grup musik Debu, dari
sebelumnya tidak dikenal, Debu akhirnya menjelma menjadi salah satu grup musik
yang sudah menelurkan sejumlah album dengan karya-karya yang dapat diterima
pasar di Indonesia. Bertanggung jawab sebagai pemimpin keluarga, bertanggung
jawab sebagai pemimpin grup musik. Sangat patut ditiru.
Sebagai seorang seniman atau
musisi, Mustafa tergolong pemusik yang sangat idealis. Baginya, “tidak ada kesalahan dalam bermusik”.
Maksudnya adalah sekalipun karya musik yang dihasilkan bertolak belakang dengan
teori-teori musik yang sudah ada selama ini, hal tersebut tidak dapat
didefinisikan sebagai kesalahan dalam bermusik. “Asalkan enak didengar, selesai itu perkara”, lanjut pria yang saat
ini sudah berumur 31 tahun itu. Mustafa sendiri berpendapat bahwa musik Debu
yang mereka mainkan merupakan genre musik tersendiri yang berbeda dengan genre
musik yang sudah ada. Meskipun ada nuansa Turki dan Arab dalam musik Debu,
namun originalitas musik yang lahir dari 5 tahun proses bermusik secara
otodidak itu, membuat Debu tidak layak untuk dikelompokkan dalam genre musik tertentu. Debu adalah grup
musik, musik itu sendiri, dan genre
musik yang berdiri sendiri. Tentunya jika Debu bisa dikenal di negeri orang,
ini adalah buah dari kerja keras dari Mustafa yang tidak pernah takut untuk
bersaing dengan jenis-jenis musik yang telah lebih dulu ada di tanah air.
Originalitas dalam berkarya pun patut
untuk ditiru oleh generasi muda di negeri ini. Apapun bidang ilmu atau
pekerjaan yang sedang kita kerjakan saat ini, semangat originalitas harus tetap
diusung. Jadikanlah karya-karya sebelumnya sebagai acuan untuk menciptakan
karya baru yang tetap memiliki keunikan tersendiri.
Namun yang paling unik dari
seorang Mustafa adalah, dalam setiap cerita kehidupan yang dia sampaikan, dalam
setiap uraian tentang falsafah hidupnya, terkandung pesan-pesan moral yang
sangat kuat. Sebagai seorang anak muda yang dibesarkan dalam keluarga muslim
yang kental dengan pengajaran Islam, Mustafa merupakan seorang pribadi yang
berpandangan sangat terbuka, berwawasan luas, dan sangat toleran terhadap
modernisasi namun tetap berada di dalam batasan-batasan yang jelas. Pandangan
hidupnya tentang cinta, kekayaan, kesuksesan, kerja keras, musik dll menjadikan
dia patut untuk dijadikan teladan hidup bagi mereka yang mengenal pribadinya.
Buah pemikirannya yang cerdas, lugas dan tegas itu menginspirasi saya untuk
membuat beberapa tulisan yang sampai tulisan ini dipublish, masih terus saya
sempurnakan agar dapat segera diupload di blog ini.
Ketika ditanya pendapatnya
tentang kota Jakarta, Mustafa yang sangat fasih berbahasa Indonesia lantas
berpendapat,
“Saya harus jujur bahwa Jakarta bukanlah kota yang cantik, masyarakat
disini sudah tidak bisa lagi menyadari bahwa apa yang mereka miliki selama ini
adalah sesuatu yang sangat berharga. Jika warga Jakarta tidak bisa merawat
kotanya, maka keindahan Jakarta hanya akan menjadi masa lalu.”
Saya berharap ada pelajaran yang
bisa kita ambil dari cerita tentang Mustafa Daood:
anak yang berbakti kepada
orang tua, musisi yang berkarya dengan originalitas, generasi muda yang taat beragama didalam cinta kepada Tuhannya
namun tetap cerdas dan terbuka dalam berinteraksi dengan dunia, pemimpin yang
bertanggung jawab terhadap keluarga dan kelompoknya.
Ibu pertiwi pasti tersenyum bangga, saat Mustafa menyanyikan Indonesia Raya di hari pertama dirinya menjadi WNI :)
No comments:
Post a Comment