Monday, 5 November 2012

Teladan Mustafa Daood


Minggu siang tanggal 4 November 2012, tanpa sengaja channel tv saya tertuju pada salah satu program “Sebuah Nama Sebuah Cerita” di Kompas TV. Tampak seorang narasumber sedang diwawancara saat itu. Seorang pria berambut panjang terikat berwarna kuning keemasan, dengan begitu bersemangat menceritakan perjalanan hidupnya kepada seorang wartawan yang tidak terlihat di layar. Berbagai kalimat tegas dan berilmu yang keluar dari mulutnya tanpa terasa telah membuat saya lupa untuk beralih ke program tv yang sebelumnya sedang saya tonton. Saya pun memutuskan untuk menonton acara itu karena alasan klasik, lebih menarik.

Wajahnya tidak asing bagi saya, dia adalah seorang vokalis dari grup musik yang karya-karyanya terdengar seperti musik timur tengah. Melalui program tv tersebut, kemudian saya tahu bahwa namanya adalah Mustafa Daood, vokalis sekaligus pemimpin dari grup musik Debu. Debu adalah grup musik yang personil dan bahasa musiknya bernafaskan Islam, terbentuk di Indonesia pada tahun 2001 dan bermarkas di Jakarta Selatan.

Anggota grup musik Debu sebagian besar berasal dari sebuah keluarga yang sebelumnya bermukim di Amerika Serikat. Ayah Mustafa merupakan pemimpin salah satu grup musik di Amerika yang sudah melanglang buana di lebih dari 50 negara untuk bermusik. Darah musik inilah yang mengalir dalam diri Mustafa dan saudara-saudaranya. Dalam sebuah mimpi di tengah malam, Ayah Mustafa memperoleh semacam “petunjuk dari Tuhan” untuk pindah dan bermusik ke Indonesia. Jadilah kemudian mereka sekeluarga pindah ke Indonesia, dimana Makassar menjadi tempat pertama mereka untuk bermusik sebelum akhirnya pindah ke Jakarta. Setelah menanti hampir 12 tahun, Mustafa dan anggota grup musik Debu akhirnya menjadi warga negara Indonesia.

Lalu apa yang membuat dia menjadi begitu “menarik” (bagi saya)??

Sebagai seorang anak, Mustafa merupakan pribadi yang sangat hormat kepada ayahnya. Ketika ayahnya memutuskan untuk pindah ke Indonesia, Mustafa baru berumur 17 tahun. Namun “perintah” ayah nya untuk pindah ke Indonesia tetap dia jalankan, meskipun mereka sama sekali tidak pernah mengetahui bentuk dan kondisi dari Indonesia sebelumnya, tidak ada kenalan sama sekali di negeri yang asing itu. Dia ikhlas untuk melupakan kenyamanan yang sudah cukup lama dia peroleh, melupakan teman-teman dan sejumlah kenangan di kampung halamannya. Bahkan akhirnya dia menjadi salah satu dari kelompok pertama yang berangkat lebih dulu ke Indonesia bersama ayah dan salah satu saudaranya. Sama sekali tidak ada keraguan untuk melaksanakan apa yang diinginkan ayahnya.

Tanpa dia sadari, akhirnya Mustafa muda, jatuh cinta kepada negeri Bhineka Tunggal Ika ini. Keramahan masyarakat Indonesia, mudahnya memperoleh makanan halal, dan suara adzan yang dapat mereka dengar 5 kali sehari menjadi daya tarik tersendiri bagi Mustafa dan saudara-saudara nya untuk menetap dan bahkan mengajukan permohonan untuk menjadi Warga Negara Indonesia. 

“Saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan Indonesia, meskipun harus menunggu sampai 20 tahun untuk menjadi WNI, saya pikir itu adalah hal yang layak untuk ditunggu”.

Masih sebesar itukah kebanggaan kita akan Indonesia??

Sebagai seorang kakak, suami dan saudara, Mustafa sangat bertanggung jawab terhadap adik, istri dan saudara-saudaranya. Dengan kerja keras dia membangun grup musik Debu, dari sebelumnya tidak dikenal, Debu akhirnya menjelma menjadi salah satu grup musik yang sudah menelurkan sejumlah album dengan karya-karya yang dapat diterima pasar di Indonesia. Bertanggung jawab sebagai pemimpin keluarga, bertanggung jawab sebagai pemimpin grup musik. Sangat patut ditiru.

Sebagai seorang seniman atau musisi, Mustafa tergolong pemusik yang sangat idealis. Baginya, “tidak ada kesalahan dalam bermusik”. Maksudnya adalah sekalipun karya musik yang dihasilkan bertolak belakang dengan teori-teori musik yang sudah ada selama ini, hal tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai kesalahan dalam bermusik. “Asalkan enak didengar, selesai itu perkara”, lanjut pria yang saat ini sudah berumur 31 tahun itu. Mustafa sendiri berpendapat bahwa musik Debu yang mereka mainkan merupakan genre musik tersendiri yang berbeda dengan genre musik yang sudah ada. Meskipun ada nuansa Turki dan Arab dalam musik Debu, namun originalitas musik yang lahir dari 5 tahun proses bermusik secara otodidak itu, membuat Debu tidak layak untuk dikelompokkan dalam genre musik tertentu. Debu adalah grup musik, musik itu sendiri, dan genre musik yang berdiri sendiri. Tentunya jika Debu bisa dikenal di negeri orang, ini adalah buah dari kerja keras dari Mustafa yang tidak pernah takut untuk bersaing dengan jenis-jenis musik yang telah lebih dulu ada di tanah air.

Originalitas dalam berkarya pun patut untuk ditiru oleh generasi muda di negeri ini. Apapun bidang ilmu atau pekerjaan yang sedang kita kerjakan saat ini, semangat originalitas harus tetap diusung. Jadikanlah karya-karya sebelumnya sebagai acuan untuk menciptakan karya baru yang tetap memiliki keunikan tersendiri.
Namun yang paling unik dari seorang Mustafa adalah, dalam setiap cerita kehidupan yang dia sampaikan, dalam setiap uraian tentang falsafah hidupnya, terkandung pesan-pesan moral yang sangat kuat. Sebagai seorang anak muda yang dibesarkan dalam keluarga muslim yang kental dengan pengajaran Islam, Mustafa merupakan seorang pribadi yang berpandangan sangat terbuka, berwawasan luas, dan sangat toleran terhadap modernisasi namun tetap berada di dalam batasan-batasan yang jelas. Pandangan hidupnya tentang cinta, kekayaan, kesuksesan, kerja keras, musik dll menjadikan dia patut untuk dijadikan teladan hidup bagi mereka yang mengenal pribadinya. Buah pemikirannya yang cerdas, lugas dan tegas itu menginspirasi saya untuk membuat beberapa tulisan yang sampai tulisan ini dipublish, masih terus saya sempurnakan agar dapat segera diupload di blog ini.

Ketika ditanya pendapatnya tentang kota Jakarta, Mustafa yang sangat fasih berbahasa Indonesia lantas berpendapat,

“Saya harus jujur bahwa Jakarta bukanlah kota yang cantik, masyarakat disini sudah tidak bisa lagi menyadari bahwa apa yang mereka miliki selama ini adalah sesuatu yang sangat berharga. Jika warga Jakarta tidak bisa merawat kotanya, maka keindahan Jakarta hanya akan menjadi masa lalu.”

Saya berharap ada pelajaran yang bisa kita ambil dari cerita tentang Mustafa Daood: 
anak yang berbakti kepada orang tua, musisi yang berkarya dengan originalitas, generasi muda yang  taat beragama didalam cinta kepada Tuhannya namun tetap cerdas dan terbuka dalam berinteraksi dengan dunia, pemimpin yang bertanggung jawab terhadap keluarga dan kelompoknya.

Ibu pertiwi pasti tersenyum bangga, saat Mustafa menyanyikan Indonesia Raya di hari pertama dirinya menjadi WNI :)

No comments:

Post a Comment