Beberapa hari yang lalu, saya dan
seorang teman sedang berada di salah satu lokasi center of gathering-nya warga Jakarta. Sebelum meninggalkan
tempat tersebut, saya mengalami satu peristiwa yang boleh dibilang sebagai:
penghinaan paling memalukan yang mencederai harga diri saya sebagai seseorang
yang hidup di negara yang menjadikan hukum sebagai panglima (Ruhut Sitompul,
2004-skrg)........ dan for the sake of
national security, pertanyaan-pertanyaan berikut: kapan? dimana? ngapain
disana? dll, tidak akan dibahas disini karena bukan itu yang ingin saya
ceritakan dan sekalipun tidak dibahas, tidak akan mengurangi makna dari cerita
ini (hukum anti bertele-tele dalam menulis).
Baiklah... (ambil remote, mute-in volume tipi dan fokus ke laptop)...akan saya
mulai dengan mengurai kronologisnya agar kita memiliki dasar pemikiran yang
sama untuk memberikan pandangan...
Waktu itu langit terlihat
mendung, udara sedikit lembab karena efek “hujan ngga nyampe semenit”, dan
matahari sedang konsisten bergerak menuju posisi tegak lurus di atas kepala,
menjadi latar adegan saat saya dan seorang teman sudah bersiap untuk
meninggalkan tempat itu. Saya naik ke motor, kemudian perlahan-lahan
memindahkan motor dari jalur parkir sambil ngobrol ringan sama si teman yang
masih menunggu aba-aba untuk naik di jok belakang. Seperti biasanya saat akan
meninggalkan area parkir, dompet saya keluarkan dari saku celana buat ngambil
duit receh untuk bayar parkir. Kebetulan memang ngga ada parkir resmi di tempat
itu. Akhirnya ketemulah duit Rp 2.000 di dompet, uang nya saya keluarin dan
masukin ke kantong jaket biar gampang pas nanti mau diberikan ke tukang parkir.
Saat udah siap untuk meninggalkan
TKP, saya tengok ke kiri dan kekanan sambil mencari “pria pemandu parkir” untuk
menyerahkan “uang jasa penggunaan parkir” yang udah tersedia di kantong. Tapi
harapan itu pun sirna karena tak satu pun pria disana menunjukan gelagat bahwa
dia adalah orang yang tepat, berhak dan layak untuk menerima retribusi parkir
(Untung, Pengantar Perpajakan, 2004) itu. Sebenarnya ada beberapa orang pria
disana, hanya saja saya ngga mau terlalu terlihat seperti seorang dermawan uang
parkir yang rela mencari-cari si tukang parkir sambil bertanya pada orang-orang
itu dengan pertanyaan:
“Permisi, apakah bapak adalah tukang parkir yang sedang bertugas?”
atau
“Apakah anda kenal dengan tukang parkir yang berhak menerima Rp 2.000
ini?”
Akhirnya saya berasumsi....
(kebetulan latar belakang pendidikan saya adalah ekonomi, ilmu yang paling suka
menyederhanakan masalah dengan kata pamungkas yang disebut: asumsi)...... bahwa
tukang parkirnya karena takut akan kena flu akibat kehujanan, maka dia
memutuskan untuk pulang dan bobo siang (baca: tukang parkirnya tidak ditempat).
Dengan asumsi ini, maka saya memutuskan untuk segera meninggalkan TKP karena
sepertinya tidak lama lagi hujan susulan akan segera datang.
Motor dinyalakan, si teman segera
naik, kami siap berangkat, dan tiba-tiba ada seorang pria yang lewat di samping
kiri kami sambil mengomel tapi dalam mode
menggumam dan terus berjalan ke depan. Sempat terpikir bahwa dia adalah pawang
hujan yang sengaja dipanggil untuk menetralisir probabilitas turunnya hujan di
tempat itu. Namun dari frekuensi, getaran dan gelombang suaranya, terdengar
memang kalau dia sedang marah. Kembali terpikir bahwa mungkin karena mantra
penolak hujannya berpeluang gagal maka dia marah-marah dengan roh halus yang
bersemayam dalam dirinya yang menjadi sekutunya dalam menolak hujan.
Daripada semakin ngga jelas
berimajinasi, akhirnya saya pindah gigi dari
posisi normal ke gigi 1, dan segera membiarkan motor terdorong maju oleh
dorongan gas yang diperintahkan oleh tangan kanan.
Tapi belum sampai 3 meter,
terdengar ada yang berteriak tapi saya agak kurang jelas mendengarnya.
Teman yang dibonceng pun kemudian
berkata “Udah bayar parkir belum?”
... Jeng jeng jeng..!!!
Ternyata yang berteriak itu
adalah pria yang tadi marah-marah sambil menggumam, dia pun bukanlah pawang
hujan yang sedang ngomel-ngomel dengan sekutu roh halusnya, dia adalah tokoh
utama dalam cerita ini, pria yang dari tadi
dicari-cari, pria yang saya asumsiin takut kena flu karena hujan
sehingga memutuskan untuk pulang, dialah sang tukang parkir...
Dan ternyata isi teriakannya
adalah “Wooii, di kota ngga ada yang
gratis”
“Appaaaaa!!!”
Saya sempat berhenti sejenak
setelah menjauh kira-kira 3,5 meter dari TKP dan mencerna ulang kata-kata itu.
Guys, itu dalem banget kata-katanya dan saya merasa perlu memberikan
klarifikasi lewat cerita ini meskipun saya tahu kecil kemungkinan bagi si
tukang parkir untuk membaca tulisan ini. Tapi setidaknya ada media bagi saya
untuk berbagi cerita dan klarifikasi.
(...nyalain kipas angin untuk meredam suasana yang semakin
menghangat...)
Mari kita lanjutkan, Bapak tukang
parkir yang terhormat, saya sangat tersinggung dengan pernyataan Bapak tadi
siang.
Pertama, lewat kata-kata itu
artinya saya dituduh lari dari tanggung jawab, ngga mau bayar parkir.
Penghinaan nomor 1. Padahal jelas-jelas duitnya udah saya siapin. Kenapa bapak
tidak menampakan diri dari tadi? Masa nagih uang parkir aja gengsi? ..
Mengingat status saya adalah PNS, kata-kata itu sangat perih terdengar di telinga, sakit menyayat hati... masa seorang
PNS ngga mampu bayar parkir? Hadeh.. Benar-benar udah mempermalukan instansi
tempat saya bekerja. Maafkan saya pak menteri.
Kedua, kata-kata itu bisa
diterjemahkan dengan makna meluas menjadi “Wooii
orang desa, ini kota, di kota ngga ada yang gratis”. Penghinaan nomor 2.
Sedih amat yak, orang desa juga ngga mau dibilang kaya gitu..Kayanya ngga
sebanding deh antara nilai uang dengan penghinaan yang saya peroleh.
Karena emosi sesaat yang
tiba-tiba melanda setelah mencerna ulang kata-kata si tukang parkir
(berlangsung dalam waktu sepersekian detik), saya memutuskan untuk terus melaju
tanpa memperdulikan celotehannya. Uang parkirnya tetap masih bersemayam di
kantong jaket. Meskipun kerugian yang dia alami tidak sebanding dengan
pelecehan harga diri yang saya terima, setidaknya dalam pandangan saya,
skornya: impas, hati tenang.
Tapi bagaimana pun juga pada
akhirnya saya menyesali apa yang terjadi saat itu. Seharusnya uang parkirnya
tetap saya serahkan. Mungkin nilainya ngga seberapa, tapi itu tetaplah
penghasilan di mata seorang tukang parkir. Maafkan saya ya bapak tukang parkir,
mudah-mudahan nanti kita bisa bertemu lagi dan akan saya serahkan uang
parkirnya. Ampuni saya Tuhan yang lebih menuruti emosi daripada menuruti
perintahmu untuk berbuat baik.
Pesan moral pertama: jangan
pernah mengambil keputusan saat sedang kesal atau emosi.
Pesan moral kedua: jangan pernah
kabur dari tempat parkir sebelum membayar uang parkir. Sekecil apapun uang
parkir, uang itu tetaplah merupakan penghasilan bagi si tukang parkir.
Karena saya juga pernah belajar akuntansi, maka saat ini di jurnal pengeluaran saya harus sudah tercatat
sebagai berikut:
Debet Kredit
Beban Parkir Rp. 2.000
Utang Parkir Rp.
2.000
No comments:
Post a Comment