Friday, 9 November 2012

Miskomunikasi Dengan Tukang Parkir: Klarifikasi


Beberapa hari yang lalu, saya dan seorang teman sedang berada di salah satu lokasi center of gathering-nya warga Jakarta. Sebelum meninggalkan tempat tersebut, saya mengalami satu peristiwa yang boleh dibilang sebagai: penghinaan paling memalukan yang mencederai harga diri saya sebagai seseorang yang hidup di negara yang menjadikan hukum sebagai panglima (Ruhut Sitompul, 2004-skrg)........ dan for the sake of national security, pertanyaan-pertanyaan berikut: kapan? dimana? ngapain disana? dll, tidak akan dibahas disini karena bukan itu yang ingin saya ceritakan dan sekalipun tidak dibahas, tidak akan mengurangi makna dari cerita ini (hukum anti bertele-tele dalam menulis).

Baiklah... (ambil remote, mute-in volume tipi dan fokus ke laptop)...akan saya mulai dengan mengurai kronologisnya agar kita memiliki dasar pemikiran yang sama untuk memberikan pandangan...

Waktu itu langit terlihat mendung, udara sedikit lembab karena efek “hujan ngga nyampe semenit”, dan matahari sedang konsisten bergerak menuju posisi tegak lurus di atas kepala, menjadi latar adegan saat saya dan seorang teman sudah bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Saya naik ke motor, kemudian perlahan-lahan memindahkan motor dari jalur parkir sambil ngobrol ringan sama si teman yang masih menunggu aba-aba untuk naik di jok belakang. Seperti biasanya saat akan meninggalkan area parkir, dompet saya keluarkan dari saku celana buat ngambil duit receh untuk bayar parkir. Kebetulan memang ngga ada parkir resmi di tempat itu. Akhirnya ketemulah duit Rp 2.000 di dompet, uang nya saya keluarin dan masukin ke kantong jaket biar gampang pas nanti mau diberikan ke tukang parkir.

Saat udah siap untuk meninggalkan TKP, saya tengok ke kiri dan kekanan sambil mencari “pria pemandu parkir” untuk menyerahkan “uang jasa penggunaan parkir” yang udah tersedia di kantong. Tapi harapan itu pun sirna karena tak satu pun pria disana menunjukan gelagat bahwa dia adalah orang yang tepat, berhak dan layak untuk menerima retribusi parkir (Untung, Pengantar Perpajakan, 2004) itu. Sebenarnya ada beberapa orang pria disana, hanya saja saya ngga mau terlalu terlihat seperti seorang dermawan uang parkir yang rela mencari-cari si tukang parkir sambil bertanya pada orang-orang itu dengan pertanyaan:

“Permisi, apakah bapak adalah tukang parkir yang sedang bertugas?” atau
“Apakah anda kenal dengan tukang parkir yang berhak menerima Rp 2.000 ini?”

Akhirnya saya berasumsi.... (kebetulan latar belakang pendidikan saya adalah ekonomi, ilmu yang paling suka menyederhanakan masalah dengan kata pamungkas yang disebut: asumsi)...... bahwa tukang parkirnya karena takut akan kena flu akibat kehujanan, maka dia memutuskan untuk pulang dan bobo siang (baca: tukang parkirnya tidak ditempat). Dengan asumsi ini, maka saya memutuskan untuk segera meninggalkan TKP karena sepertinya tidak lama lagi hujan susulan akan segera datang.

Motor dinyalakan, si teman segera naik, kami siap berangkat, dan tiba-tiba ada seorang pria yang lewat di samping kiri kami sambil mengomel tapi dalam mode menggumam dan terus berjalan ke depan. Sempat terpikir bahwa dia adalah pawang hujan yang sengaja dipanggil untuk menetralisir probabilitas turunnya hujan di tempat itu. Namun dari frekuensi, getaran dan gelombang suaranya, terdengar memang kalau dia sedang marah. Kembali terpikir bahwa mungkin karena mantra penolak hujannya berpeluang gagal maka dia marah-marah dengan roh halus yang bersemayam dalam dirinya yang menjadi sekutunya dalam menolak hujan.

Daripada semakin ngga jelas berimajinasi, akhirnya saya pindah gigi dari posisi normal ke gigi 1, dan  segera membiarkan motor terdorong maju oleh dorongan gas yang diperintahkan oleh tangan kanan.
Tapi belum sampai 3 meter, terdengar ada yang berteriak tapi saya agak kurang jelas mendengarnya.

Teman yang dibonceng pun kemudian berkata “Udah bayar parkir belum?”
... Jeng jeng jeng..!!!

Ternyata yang berteriak itu adalah pria yang tadi marah-marah sambil menggumam, dia pun bukanlah pawang hujan yang sedang ngomel-ngomel dengan sekutu roh halusnya, dia adalah tokoh utama dalam cerita ini, pria yang dari tadi  dicari-cari, pria yang saya asumsiin takut kena flu karena hujan sehingga memutuskan untuk pulang, dialah sang tukang parkir...               
Dan ternyata isi teriakannya adalah “Wooii, di kota ngga ada yang gratis”

“Appaaaaa!!!”

Saya sempat berhenti sejenak setelah menjauh kira-kira 3,5 meter dari TKP dan mencerna ulang kata-kata itu. Guys, itu dalem banget kata-katanya dan saya merasa perlu memberikan klarifikasi lewat cerita ini meskipun saya tahu kecil kemungkinan bagi si tukang parkir untuk membaca tulisan ini. Tapi setidaknya ada media bagi saya untuk berbagi cerita dan klarifikasi.

(...nyalain kipas angin untuk meredam suasana yang semakin menghangat...)

Mari kita lanjutkan, Bapak tukang parkir yang terhormat, saya sangat tersinggung dengan pernyataan Bapak tadi siang.

Pertama, lewat kata-kata itu artinya saya dituduh lari dari tanggung jawab, ngga mau bayar parkir. Penghinaan nomor 1. Padahal jelas-jelas duitnya udah saya siapin. Kenapa bapak tidak menampakan diri dari tadi? Masa nagih uang parkir aja gengsi? .. Mengingat status saya adalah PNS, kata-kata itu sangat perih terdengar di telinga, sakit menyayat hati... masa seorang PNS ngga mampu bayar parkir? Hadeh.. Benar-benar udah mempermalukan instansi tempat saya bekerja. Maafkan saya pak menteri.

Kedua, kata-kata itu bisa diterjemahkan dengan makna meluas menjadi “Wooii orang desa, ini kota, di kota ngga ada yang gratis”. Penghinaan nomor 2. Sedih amat yak, orang desa juga ngga mau dibilang kaya gitu..Kayanya ngga sebanding deh antara nilai uang dengan penghinaan yang saya peroleh.

Karena emosi sesaat yang tiba-tiba melanda setelah mencerna ulang kata-kata si tukang parkir (berlangsung dalam waktu sepersekian detik), saya memutuskan untuk terus melaju tanpa memperdulikan celotehannya. Uang parkirnya tetap masih bersemayam di kantong jaket. Meskipun kerugian yang dia alami tidak sebanding dengan pelecehan harga diri yang saya terima, setidaknya dalam pandangan saya, skornya: impas, hati tenang.

Tapi bagaimana pun juga pada akhirnya saya menyesali apa yang terjadi saat itu. Seharusnya uang parkirnya tetap saya serahkan. Mungkin nilainya ngga seberapa, tapi itu tetaplah penghasilan di mata seorang tukang parkir. Maafkan saya ya bapak tukang parkir, mudah-mudahan nanti kita bisa bertemu lagi dan akan saya serahkan uang parkirnya. Ampuni saya Tuhan yang lebih menuruti emosi daripada menuruti perintahmu untuk berbuat baik.

Pesan moral pertama: jangan pernah mengambil keputusan saat sedang kesal atau emosi.
Pesan moral kedua: jangan pernah kabur dari tempat parkir sebelum membayar uang parkir. Sekecil apapun uang parkir, uang itu tetaplah merupakan penghasilan bagi si tukang parkir.

Karena saya juga pernah belajar akuntansi, maka saat ini di jurnal pengeluaran saya harus sudah tercatat sebagai berikut:
                                                Debet                   Kredit
Beban Parkir                      Rp. 2.000             
Utang Parkir                                                       Rp. 2.000

No comments:

Post a Comment