
Dalam rangka
pengaturan proses impor produk hortikultura, Pemerintah telah menerbitkan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor
Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012
tentang Perubahan Ketentuan Impor Produk Hortikultura, dan mulai resmi
diberlakukan sejak tanggal 28 September 2012. Kedua peraturan ini diterbitkan
dengan semangat pengamanan pangan dan bahan baku industri sekaligus dalam
rangka pembenahan standar produk pertanian (khususnya produk hortikultura)
dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan
internasional.
Permentan Nomor
60 Tahun 2012 mensyaratkan bahwa impor produk hortikultura baik dalam bentuk
produk hortikultura segar untuk tujuan konsumsi, produk hortikultura untuk
bahan baku industri maupun produk hortikultura olahan, hanya dapat dilaksanakan
setelah memperoleh surat Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang
diterbitkan oleh Kementerian Pertanian. Selain persyaratan RIPH, Permendag
Nomor 60 Tahun 2012 juga mengatur bahwa importir yang diijinkan untuk melakukan
pemasukan produk hortikultura ke dalam wilayah Indonesia adalah importir yang
telah mengantongi ijin baik sebagai Importir Produsen Produk Hortikultura (IP)
maupun Importir Terdaftar Produk Hortikultura (IT). Impor hanya dapat
dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan.

Setali tiga
uang dengan produk hortikultura, Pemerintah sejak tahun 2011 telah mengatur
proses impor sapi dan daging sapi dengan menerbitkan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Impor Daging dan
Jeroan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2011 tentang Ketentuan Impor
dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan. Berdasarkan kedua peraturan ini, impor sapi
dan daging sapi dapat dilakukan oleh importir setelah memperoleh Rekomendasi
Persetujuan Pemasukan (RPP) yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian dan
Surat Persetujuan Impor (SPI) yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan.
Sejalan dengan Permentan dan Permendag 60, Permentan 50 dan Permendag 24
diterbitkan dengan tujuan untuk memastikan bahwa impor hanya ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan domestik yang belum mampu dipenuhi dari hasil produksi dalam
negeri.
Namun pada
tahun 2012, tepatnya setelah penerbitan Permentan dan Permendag 60, Pemerintah
Amerika Serikat memprotes Pemerintah Republik Indonesia atas kebijakan impor
produk hortikulura dan daging sapi yang dianggap membatasi impor dan berdampak
negatif bagi sektor pertanian dan peternakan negara-negara eksportir pada
umumnya dan Amerika Serikat pada khususnya. Kebijakan Pemerintah Indonesia dianggap
bertentangan atau tidak konsisten dengan peraturan yang telah disepakati
bersama di tingkat World Trade
Organization (WTO).
Amerika Serikat
berpendapat bahwa kebijakan impor produk hortikultura dan daging yang dijalankan
oleh Pemerintah Indonesia belum memenuhi prinsip transparansi sebagaimana diatur
dalam General Agreement on Tariffs and
Trade yang ditandatangani pada tahun 1994 (GATT 1994). Berdasarkan GATT
1994, Amerika Serikat juga berpandangan bahwa peraturan-peraturan tersebut
merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif (non tarif barrier) karena berpotensi membatasi importir dalam
melakukan impor sekaligus membatasi akses ekspor bagi negara eksportir. Amerika
Serikat pun menyatakan bahwa kebijakan perdagangan pemerintah Indonesia
tersebut telah melanggar Import Licensing
Agreement karena proses pengajuan ijin yang dianggap terlalu rumit sehingga
berpotensi mendistorsi perdagangan.
Pemerintah
Indonesia khususnya melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan
dalam menyikapi protes Amerika Serikat tersebut, berpendapat bahwa peraturan
impor produk hortikultura dan daging bukan merupakan bagian dari upaya
pemerintah untuk melakukan pembatasan impor. Permendag dan Permentan 60 tidak
dapat diartikan sebagai pembatasan jumlah impor, karena tidak menyebutkan
secara spesifik mengenai jumlah yang akan diimpor. Rekomendasi juga diberikan
secara adil tanpa membedakan setiap permohonan. RIPH tidak bertujuan untuk
membatasi impor, namun untuk kepentingan keamanan pangan (food safety), dimana penetapan jumlah yang diperbolehkan impor didasarkan
pada kapasitas gudang penyimpanan yang ada (cold storage), dengan pertimbangan produk hortikultura mudah
rusak.
Permentan 50
dan Permendag 24 tidak dapat diartikan sebagai pembatasan impor, karena
penerbitan peraturan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional
dari faktor kesehatan, keselamatan, keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa
(K3LM) yang berujung pada kemandirian sektor pertanian. Terkait dengan masalah
transparansi, Pemerintah Indonesia menjamin bahwa proses impor hortikultura dan
daging telah dilaksanakan dalam kerangka prosedur yang transparan. Selain itu,
prosedur impor hortikultura dan daging telah diatur secara cermat sehingga
kekhawatiran pemerintah Amerika Serikat akan terdistorsinya perdagangan
dipastikan tidak akan terjadi.
Pandangan dan
Tanggapan Pemerintah Indonesia secara lengkap telah disampaikan dalam Pertemuan
Konsultasi antara Indonesia dan Amerika Serikat pada tanggal 21-22 Februari
2013 di Genewa, Swiss. Namun demikian, pertemuan tersebut belum menghasilkan
kesepakatan bagi kedua belah pihak. Hasil pertemuan tersebut direncanakan akan
kembali dibahas dalam pertemuan berikutnya yang diagendakan untuk dilaksanakan
pada akhir Maret 2013.
Jika pertemuan
konsultasi selanjutnya tidak dapat menghasilkan kata sepakat, maka protes
Amerika Serikat tersebut dapat berlanjut menjadi Sengketa Perdagangan (Dispute Settlement) di tingkat WTO.
Pemerintah Indonesia tentunya akan menghindari hal ini, mengingat pengalaman
sebelumnya menunjukan bahwa penyelesaian Sengketa Perdagangan akan menghabiskan
banyak waktu dan biaya.
No comments:
Post a Comment