Tuesday, 26 March 2013

Kebijakan Impor Produk Hortikultura dan Daging: Indonesia vs Amerika Serikat



Dalam rangka pengaturan proses impor produk hortikultura, Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Ketentuan Impor Produk Hortikultura, dan mulai resmi diberlakukan sejak tanggal 28 September 2012. Kedua peraturan ini diterbitkan dengan semangat pengamanan pangan dan bahan baku industri sekaligus dalam rangka pembenahan standar produk pertanian (khususnya produk hortikultura) dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional.
Permentan Nomor 60 Tahun 2012 mensyaratkan bahwa impor produk hortikultura baik dalam bentuk produk hortikultura segar untuk tujuan konsumsi, produk hortikultura untuk bahan baku industri maupun produk hortikultura olahan, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh surat Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian. Selain persyaratan RIPH, Permendag Nomor 60 Tahun 2012 juga mengatur bahwa importir yang diijinkan untuk melakukan pemasukan produk hortikultura ke dalam wilayah Indonesia adalah importir yang telah mengantongi ijin baik sebagai Importir Produsen Produk Hortikultura (IP) maupun Importir Terdaftar Produk Hortikultura (IT). Impor hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan.


Setali tiga uang dengan produk hortikultura, Pemerintah sejak tahun 2011 telah mengatur proses impor sapi dan daging sapi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Impor Daging dan Jeroan dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2011 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan. Berdasarkan kedua peraturan ini, impor sapi dan daging sapi dapat dilakukan oleh importir setelah memperoleh Rekomendasi Persetujuan Pemasukan (RPP) yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian dan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan. Sejalan dengan Permentan dan Permendag 60, Permentan 50 dan Permendag 24 diterbitkan dengan tujuan untuk memastikan bahwa impor hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik yang belum mampu dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri.
Namun pada tahun 2012, tepatnya setelah penerbitan Permentan dan Permendag 60, Pemerintah Amerika Serikat memprotes Pemerintah Republik Indonesia atas kebijakan impor produk hortikulura dan daging sapi yang dianggap membatasi impor dan berdampak negatif bagi sektor pertanian dan peternakan negara-negara eksportir pada umumnya dan Amerika Serikat pada khususnya. Kebijakan Pemerintah Indonesia dianggap bertentangan atau tidak konsisten dengan peraturan yang telah disepakati bersama di tingkat World Trade Organization (WTO).
Amerika Serikat berpendapat bahwa kebijakan impor produk hortikultura dan daging yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia belum memenuhi prinsip transparansi sebagaimana diatur dalam General Agreement on Tariffs and Trade yang ditandatangani pada tahun 1994 (GATT 1994). Berdasarkan GATT 1994, Amerika Serikat juga berpandangan bahwa peraturan-peraturan tersebut merupakan bentuk hambatan perdagangan non tarif (non tarif barrier) karena berpotensi membatasi importir dalam melakukan impor sekaligus membatasi akses ekspor bagi negara eksportir. Amerika Serikat pun menyatakan bahwa kebijakan perdagangan pemerintah Indonesia tersebut telah melanggar Import Licensing Agreement karena proses pengajuan ijin yang dianggap terlalu rumit sehingga berpotensi mendistorsi perdagangan.
Pemerintah Indonesia khususnya melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam menyikapi protes Amerika Serikat tersebut, berpendapat bahwa peraturan impor produk hortikultura dan daging bukan merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk melakukan pembatasan impor. Permendag dan Permentan 60 tidak dapat diartikan sebagai pembatasan jumlah impor, karena tidak menyebutkan secara spesifik mengenai jumlah yang akan diimpor. Rekomendasi juga diberikan secara adil tanpa membedakan setiap permohonan. RIPH tidak bertujuan untuk membatasi impor, namun untuk kepentingan keamanan pangan (food safety), dimana penetapan jumlah yang diperbolehkan impor didasarkan pada kapasitas gudang penyimpanan yang ada (cold storage), dengan pertimbangan produk hortikultura mudah rusak.
Permentan 50 dan Permendag 24 tidak dapat diartikan sebagai pembatasan impor, karena penerbitan peraturan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan nasional dari faktor kesehatan, keselamatan, keamanan, lingkungan hidup dan moral bangsa (K3LM) yang berujung pada kemandirian sektor pertanian. Terkait dengan masalah transparansi, Pemerintah Indonesia menjamin bahwa proses impor hortikultura dan daging telah dilaksanakan dalam kerangka prosedur yang transparan. Selain itu, prosedur impor hortikultura dan daging telah diatur secara cermat sehingga kekhawatiran pemerintah Amerika Serikat akan terdistorsinya perdagangan dipastikan tidak akan terjadi.
Pandangan dan Tanggapan Pemerintah Indonesia secara lengkap telah disampaikan dalam Pertemuan Konsultasi antara Indonesia dan Amerika Serikat pada tanggal 21-22 Februari 2013 di Genewa, Swiss. Namun demikian, pertemuan tersebut belum menghasilkan kesepakatan bagi kedua belah pihak. Hasil pertemuan tersebut direncanakan akan kembali dibahas dalam pertemuan berikutnya yang diagendakan untuk dilaksanakan pada akhir Maret 2013.
Jika pertemuan konsultasi selanjutnya tidak dapat menghasilkan kata sepakat, maka protes Amerika Serikat tersebut dapat berlanjut menjadi Sengketa Perdagangan (Dispute Settlement) di tingkat WTO. Pemerintah Indonesia tentunya akan menghindari hal ini, mengingat pengalaman sebelumnya menunjukan bahwa penyelesaian Sengketa Perdagangan akan menghabiskan banyak waktu dan biaya. 

No comments:

Post a Comment