Dalam perekonomian sebuah negara, perdagangan
luar negeri merupakan pilihan atau strategi ekonomi yang cukup ampuh dalam
konteks upaya perluasan pasar dan peningkatan kinerja perekonomian. Kompetisi di dalam arena perdagangan internasional mengharuskan setiap negara untuk
secara bijak dapat mengatur dan mengendalikan kegiatan ekspor dan impor
sehingga dapat menikmati keuntungan yang maksimal dari tindakan ekonomi
tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang
tahun 2012 sampai dengan akhir tahun 2013, neraca perdagangan Indonesia lebih
sering berada di dalam kondisi defisit. Surplus neraca perdagangan kembali
diraih pada bulan Oktober 2013 dan tetap bertahan sampai dengan Desember 2013,
sebelum kemudian terkoreksi pada bulan Januari 2014 dengan angka defisit
sebesar US$ 430 juta. Angka defisit neraca perdagangan Januari 2014 tersebut
sebenarnya masih memiliki “kabar positif” dikarenakan defisit tersebut dihasilkan oleh
defisit neraca migas sebesar US$ 1,06 miliar dan surplus neraca non migas
sebesar US$ 630 juta. Artinya, sektor non migas Indonesia pada dasarnya masih
memiliki prestasi positif. Namun melihat tingginya kebutuhan konsumsi BBM
domestik yang tidak diimbangi dengan perbaikan lifting minyak Indonesia (outlook APBN
2014 804 juta bpd, masih lebih rendah dari target APBN 2014 sebesar 870 juta
bpd), maka
satu-satunya jalan keluar untuk memperbaiki rapor merah neraca perdagangan
adalah melalui peningkatan kinerja perdagangan sektor non migas.
Meskipun pada bulan Januari 2014 telah terjadi penurunan
impor sebesar 3,5% yoy, namun penurunan tersebut tidak berdampak positif
terhadap neraca perdagangan karena disaat yang sama, ekspor Indonesia juga
mengalami penurunan sebesar 5,8% yoy. Penurunan ekspor yang lebih besar dari
pengurangan impor mengakibatkan terjadinya defisit pada neraca perdagangan.
Hasilnya, cadangan devisa harus kembali dikuras untuk menutup defisit tersebut.
Permasalahan ini tentunya harus segera ditemukan solusinya agar tidak semakin
berdampak negatif terhadap perekonomian dalam negeri.
Dalam tulisannya pada sebuah media massa, Prasetyantoko (pengajar pada Universitas Unika Atma Jaya Jakarta) berpendapat bahwa setidaknya ada dua elemen pokok yang harus ditata dalam
kaitannya dengan usaha perbaikan kinerja perdagangan luar negeri Indonesia,
yakni elemen kelembagaan dan elemen kebijakan teknis. Elemen kelembagaan
sendiri memiliki peran yang cukup strategis karena berkaitan dengan faktor
kepemimpinan, koordinasi dan kompetensi.
Pendapat Prasetyantoko tentang pentingnya elemen
kelembagaan tersebut sejalan dengan temuan Hall dan Jones dalam sebuah
penelitian di tahun 1999 yang berjudul “Why
Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker Then Others”.
Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa social
infrastructure adalah faktor utama yang dapat menjelaskan perbedaan kinerja
perekonomian antar negara yang diukur melalui faktor output per worker. Hall dan Jones selanjutnya mendefinisikan social infrastructure sebagai: “the
institutions and government policies that provide incentives for individuals and firms in an economy. Those
incentives can encourage productive activities such as the accumulation of
skills or the development of new goods and production techniques, or those
incentives can encourage predatory behaviour such as rent-seeking, corruption,
and theft” (hal. 95).
Pentingnya peran institusi atau kelembagaan bagi
perekonomian Indonesia juga telah ditunjukan melalui sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Gultom pada tahun 2012. Penelitian yang berjudul “Desentralisasi,
Perkembangan Investasi dan Iklim Usaha Daerah” tersebut menyimpulkan bahwa
iklim usaha berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan rasio investasi terhadap
pendapatan daerah pasca pelaksanaan desentralisasi. Daerah yang memiliki iklim investasi yang “sejuk”
berpeluang lebih besar untuk memperoleh arus investasi yang lebih besar. Iklim
investasi tersebut tentunya sangat ditentukan oleh faktor social infrastructure/institusi/kelembagaan dari daerah itu
sendiri. Rangkuman atas beberapa pendapat tentang pentingnya elemen kelembagaan
tersebut dapat dilihat dalam sebuah kerangka pikir di bawah ini.
Berdasarkan kerangka pikir tersebut, setidaknya
terdapat 5 elemen utama yang berperan dalam aktivitas perdagangan luar negeri, yaitu elemen
kelembagaan, elemen regulasi, elemen pelaku utama, elemen aktivitas dan elemen
tujuan. Elemen kelembagaan akan menjadi dasar atau fondasi bagi diterbitkannya
regulasi dan berbagai sistem perdagangan untuk memfasilitasi aktivitas
perdagangan. Regulasi dan sistem perdagangan tersebut akan menjadi acuan bagi
pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap transaksi ekspor impor
sekaligus menjadi panduan bagi eksportir, importir dan mitra dagang di negara
lain untuk melaksanakan aktivitas perdagangan. Pemerintah selaku regulator
selanjutnya akan melaksanakan proses koordinasi baik antar instansi pemerintah
maupun antar pemerintah dengan pelaku ekspor impor (eksportir, importir dan
mitra dagang) untuk memastikan setiap transaksi telah dilaksanakan sesuai
dengan regulasi atau kebijakan yang telah ditetapkan. Dari proses tersebut
tentunya diharapkan Indonesia dapat menikmati keuntungan berupa surplus neraca
perdagangan.
Tahapan perencanaan perdagangan luar negeri sendiri
berada pada elemen
regulasi dan sistem perdagangan. Selain regulasi (misalnya: UU Perdagangan,
Peraturan Menteri Perdagangan tentang Tata Cara Ekspor Impor, Permendag tentang
Larangan dan Pembatasan Ekspor dan Impor, dan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Bea Masuk Impor) dan sistem perdagangan (misalnya: sistem transportasi
ekspor impor, mekanisme pembayaran ekspor impor, dan tata cara bongkar muat di
pelabuhan), pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan kementerian teknis
terkait lainnya juga melakukan perencanaan kebutuhan ekspor impor. Sebagai
contoh, dalam perencanaan ekspor impor komoditas pertanian: 1) Kementerian
Pertanian akan menetapkan jumlah produksi komoditas pertanian dan kebutuhan
dalam negeri akan komoditas pertanian tersebut, 2) Kementerian Perindustrian
akan menentukan berapa jumlah bahan baku industri dalam negeri yang berasal
dari komoditas pertanian, 3) Kementerian Perdagangan berdasarkan rekomendasi
dari kementerian teknis terkait akan menentukan berapa jumlah komoditas
pertanian yang diekspor ke pasar internasional dan berapa jumlah komoditas
pertanian yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat atau
industri dalam negeri (bahan baku).
Dalam skema diatas, elemen kelembagaan sebagai faktor
yang paling menentukan, harus dilihat dalam sudut pandang yang lebih luas.
Kelembagaan tidak hanya diartikan sebagai pemerintah atau organisasi atau
institusi yang bertanggung jawab dalam kegiatan perdagangan luar negeri, namun
kelembagaan harus dipahami sebagai sebuah ekosistem yang mewadahi terjadinya
kegiatan perdagangan luar negeri tersebut.
Faktor kepemimpinan
dapat diterjemahkan sebagai arah kebijakan pembangunan ekonomi khususnya arah
kebijakan perdagangan luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam era pemerintahan
pasca reformasi, arah kebijakan tersebut dapat ditemukan di dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (yang masih berlaku: RPJP 2005-2025) yang
selanjutnya digunakan
sebagai pedoman di dalam
penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (yang masih berlaku: RPJMN 2010-2014)
untuk periode lima tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah untuk jangka waktu satu
tahun. Dokumen perencanaan nasional tersebut selanjutnya akan menjadi landasan
bagi Kementerian Perdagangan selaku kementerian yang bertugas menangani urusan
pemerintahan di bidang perdagangan, untuk merumuskan arah kebijakan perdagangan
dalam bentuk Rencana Strategis (yang masih berlaku: Renstra 2010-2014) dan
Rencana Kerja Kementerian Perdagangan. Renstra dan Renja inilah yang
selanjutnya akan menentukan arah kebijakan perdagangan luar negeri yang
dilaksanakan oleh Kementerian Perdagangan.
Uraian diatas
memperlihatkan posisi strategis dan keterkaitan antara RPJP yang menjadi dasar
bagi keseluruhan arah pembangunan nasional dalam kurun waktu 20 tahun dengan
kebijakan perdagangan luar negeri di level teknis yang dijalankan oleh
Kementerian Perdagangan. Singkatnya, ketika salah menentukan RPJP, maka seluruh
kebijakan pembangunan termasuk kebijakan perdagangan luar negeri tidak akan
mencapai sasaran yang maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Faktor kepemimpinan dalam perdagangan luar negeri juga berbicara tentang paradigma
yang melandasi kebijakan perdagangan. Sebagai contoh, Undang-undang Nomor 7
Tahun 2014 tentang Perdagangan yang baru saja diterbitkan pada tanggal 11 Maret
2014 dapat digunakan untuk menjelaskan pentingnya paradigma tersebut. Disatu sisi, penerbitan
regulasi tersebut patut diapresiasi karena UU tersebut memperlihatkan komitmen
pemerintah yang sangat pro pemberdayaan ekonomi dalam negeri. Namun disisi
lain, komitmen pemerintah di dalam kerangka perdagangan internasional menjadi
patut dipertanyakan karena UU tersebut tidak memasukan UU No 7 Tahun
1994 tentang Pengesahan Agreement
Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia) sebagai
salah satu bahan pertimbangan hukum. UU No 7 Tahun 2014 pun tidak secara
spesifik mengatur mengenai pencabutan UU No 7 Tahun 1994 yang merupakan bukti
ratifikasi atau pengakuan Indonesia terhadap GATT/WTO. Dengan demikian,
paradigma perdagangan luar negeri Indonesia menjadi “kurang tegas”, apakah akan
tetap berada di dalam liberalisasi perdagangan atau akan semakin mengutamakan
upaya peningkatan daya saing ekonomi dalam negeri melalui proteksi kreatif non
tarif sesuai semangat UU perdagangan yang baru. Ketidaktegasan prinsip atau
paradigma ini tentunya berpotensi menimbulkan keraguan dari sesama kolega di ranah
perdagangan internasional dan tentunya akan berdampak kontraproduktif terhadap
perencanaan perdagangan luar negeri Indonesia.
Faktor kedua dari elemen kelembagaan yang turut memiliki
peran strategis adalah faktor koordinasi.
Faktor koordinasi sangat menentukan sejak awal perencanaan perdagangan luar
negeri. Penyusunan RPJP, RPJM dan RKP menuntut adanya koordinasi antara pihak
eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) serta pengawasan dalam tataran
implementasi oleh yudikatif (Kejaksaan dan Mahkamah Agung). Koordinasi juga
dibutuhkan dalam kaitan dengan harmonisasi peraturan perdagangan baik di antar
kementerian di pemerintah pusat maupun antar pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah. Tumpang tindih antar peraturan atau regulasi yang tidak memberikan
insentif terhadap kegiatan perdagangan tentunya tidak akan memberikan ekosistem
yang sehat bagi tumbuhnya aktivitas perekonomian.
Dalam tubuh pemerintah, koordinasi antar kementerian
teknis dibutuhkan sejak tahapan perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tahapan
monitoring dan evaluasi pelaksanaan perdagangan luar negeri. Perencanaan impor
komoditas daging sapi dapat digunakan untuk memberikan gambaran proses
koordinasi tersebut. Setiap awal tahun anggaran Kementerian Pertanian akan
menetapkan prognosa kebutuhan daging sapi dalam negeri yang berisi informasi
tentang proyeksi kebutuhan dan produksi selama 1 tahun serta stok daging sapi
tahun sebelumnya. Kementerian Perindustrian selanjutnya menentukan kebutuhan
daging sapi sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri. Data-data tersebut
akan dibawa kedalam rapat koordinasi antar kementerian yang dipimpin oleh
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Rapat koordinasi tersebut kemudian
akan memutuskan jumlah kebutuhan daging sapi yang akan dipasok melalui produksi
dalam negeri maupun melalui mekanisme impor dari luar negeri. Berdasarkan hasil
rakor di Kementerian Koordinator Bidang Perkekonomian dan rekomendasi impor
dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perdagangan akan menerbitkan Surat Persetujuan Impor bagi para importir untuk
melakukan importasi daging sapi. Proses impor tersebut akan secara berkala
dimonitor dan dievaluasi oleh berbagai kementerian dan lembaga terkait, dengan
tujuan untuk memastikan bahwa proses impor yang dilakukan oleh importir telah
sesuai dengan kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Salah satu permasalahan koordinasi yang perlu dibenahi
dalam kasus daging sapi tersebut adalah belum adanya kesatuan visi di dalam
tubuh pemerintah (permasalahan ini juga ditemukan dalam sejumlah komoditas
seperti kelompok tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura). Dalam berbagai
kesempatan, perwakilan pemerintah seringkali menyatakan bahwa pemerintah sangat
berkomitmen untuk mengurangi impor daging sapi dan berupaya untuk meningkatkan
ekspor produk pengolahan daging sapi. Idealnya, pencapaian komitmen tersebut
dapat dilaksanakan dalam bentuk peningkatan populasi dan produksi sapi dalam
negeri melalui maksimalisasi sumber daya dan teknologi produksi oleh
Kementerian Pertanian untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat dan
kebutuhan bahan baku daging sapi bagi industri pengolahan, peningkatan
penggunaan bahan baku industri yang berasal dari dalam negeri dan peningkatan
nilai tambah ekspor produk berbahan baku daging sapi oleh Kementerian
Pertanian, serta pengendalian transaksi ekspor dan impor oleh Kementerian
Perdagangan. Namun dalam tataran implementasi, belum ada kesatuan persepsi dan
komitmen di antara masing-masing kementerian. Kementerian Pertanian seakan tak
mampu untuk meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri meskipun telah
memperoleh kucuran APBN yang tidak sedikit. Kementerian Perindustrian semakin
bergantung pada bahan baku impor dengan menggunakan alasan “ketidakmampuan
produsen domestik untuk memenuhi standar kualitas bahan baku yang dikehendaki
industri” sebagai pembenaran. Setali tiga uang, Kementerian Perdagangan pun
menjadikan alasan “stabilitasi harga untuk mencegah inflasi” sebagai
pertimbangan utama untuk mengijinkan importasi daging sapi. Hasilnya, komitmen
penurunan impor daging sapi tidak pernah tercapai.
Faktor ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah kompetensi. Faktor kompetensi yang
berkaitan dengan perencanaan perdagangan luar negeri adalah kompetensi
regulator, kompetensi eksportir dan importir, kompetensi proses dan kompetensi
komoditas. Kompetensi regulator berkaitan dengan kecakapan aparat pemerintah
yang ditunjuk untuk mengatur, mengendalikan dan mengkoordinasikan perencanaan
dan pelaksanaan perdagangan luar negeri. Kompetensi ini sangat ditentukan oleh
proses perekrutan CPNS di masing-masing kementerian/lembaga sampai dengan
tahapan penentuan pejabat yang akan menduduki jabatan tertentu. Kompetensi
eksportir dan importir sangat ditentukan oleh proses verifikasi calon eksportir
dan importir yang berada dalam domain Kementerian Perdagangan, Kementerian
Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Kompetensi proses sangat terkait erat
dengan sistem perdagangan yang ditetapkan oleh pemerintah, karena efisiensi dan
efektivitas sistem perdagangan tersebut sangat berkaitan erat dengan daya saing
produk yang diperdagangkan.
Kompetensi terakhir yang memerlukan perhatian khusus
adalah kompetensi komoditi atau produk yang ditentukan oleh aturan standarisasi
dan sangat menentukan kualitas dari komoditas yang diekspor atau diimpor. Isu
standarisasi produk merupakan salah satu “hambatan non tarif” yang saat ini
digunakan oleh negara-negara Uni Eropa untuk membatasi masuknya komoditas
perikanan dari Indonesia. Negara-negara Uni Eropa tersebut memanfaatkan
lemahnya penangangan (handling process)
komoditas perikanan oleh eksportir Indonesia untuk menciptakan hambatan
perdagangan. Penetapan standarisasi penanganan komoditas ekspor bertaraf
internasional (sesuai standar ISO) dapat menjadi solusi untuk peningkatan
kompetensi komoditas.
Dengan demikian, dalam perencanaan perdagangan luar negeri, elemen kelembagaan tidak hanya berperan sebagai sebuah institusi atau kebijakan pemerintah. Dalam skala yang lebih luas, elemen kelembagaan berperan sebagai ekosistem yang mewadahi setiap tahapan perdagangan yang meliputi: penyusunan regulasi dan sistem perdagangan (termasuk didalamnya penentuan kebutuhan domestik dan penetapan alokasi ekspor impor), pelaksanaan transaksi perdagangan serta aktivitas monitoring dan evaluasi atau pengendalian perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah. Ekosistem atau kelembagaan yang sehat sangat dibutuhkan dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan perdagangan luar negeri yang mengutamakan kepentingan nasional. Peranan faktor kepemimpinan, koordinasi dan kompetensi dalam perdagangan luar negeri sangat dibutuhkan, tidak hanya dalam hal pencapaian surplus perdagangan namun juga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian, dalam perencanaan perdagangan luar negeri, elemen kelembagaan tidak hanya berperan sebagai sebuah institusi atau kebijakan pemerintah. Dalam skala yang lebih luas, elemen kelembagaan berperan sebagai ekosistem yang mewadahi setiap tahapan perdagangan yang meliputi: penyusunan regulasi dan sistem perdagangan (termasuk didalamnya penentuan kebutuhan domestik dan penetapan alokasi ekspor impor), pelaksanaan transaksi perdagangan serta aktivitas monitoring dan evaluasi atau pengendalian perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah. Ekosistem atau kelembagaan yang sehat sangat dibutuhkan dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan perdagangan luar negeri yang mengutamakan kepentingan nasional. Peranan faktor kepemimpinan, koordinasi dan kompetensi dalam perdagangan luar negeri sangat dibutuhkan, tidak hanya dalam hal pencapaian surplus perdagangan namun juga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
No comments:
Post a Comment