Friday, 2 May 2014

Peran Elemen Kelembagaan Dalam Perencanaan Perdagangan Luar Negeri

Dalam perekonomian sebuah negara, perdagangan luar negeri merupakan pilihan atau strategi ekonomi yang cukup ampuh dalam konteks upaya perluasan pasar dan peningkatan kinerja perekonomian. Kompetisi di dalam arena perdagangan internasional mengharuskan setiap negara untuk secara bijak dapat mengatur dan mengendalikan kegiatan ekspor dan impor sehingga dapat menikmati keuntungan yang maksimal dari tindakan ekonomi tersebut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2012 sampai dengan akhir tahun 2013, neraca perdagangan Indonesia lebih sering berada di dalam kondisi defisit. Surplus neraca perdagangan kembali diraih pada bulan Oktober 2013 dan tetap bertahan sampai dengan Desember 2013, sebelum kemudian terkoreksi pada bulan Januari 2014 dengan angka defisit sebesar US$ 430 juta. Angka defisit neraca perdagangan Januari 2014 tersebut sebenarnya masih memiliki “kabar positif” dikarenakan defisit tersebut dihasilkan oleh defisit neraca migas sebesar US$ 1,06 miliar dan surplus neraca non migas sebesar US$ 630 juta. Artinya, sektor non migas Indonesia pada dasarnya masih memiliki prestasi positif. Namun melihat tingginya kebutuhan konsumsi BBM domestik yang tidak diimbangi dengan perbaikan lifting minyak Indonesia (outlook APBN 2014 804 juta bpd, masih lebih rendah dari target APBN 2014 sebesar 870 juta bpd), maka satu-satunya jalan keluar untuk memperbaiki rapor merah neraca perdagangan adalah melalui peningkatan kinerja perdagangan sektor non migas.
Meskipun pada bulan Januari 2014 telah terjadi penurunan impor sebesar 3,5% yoy, namun penurunan tersebut tidak berdampak positif terhadap neraca perdagangan karena disaat yang sama, ekspor Indonesia juga mengalami penurunan sebesar 5,8% yoy. Penurunan ekspor yang lebih besar dari pengurangan impor mengakibatkan terjadinya defisit pada neraca perdagangan. Hasilnya, cadangan devisa harus kembali dikuras untuk menutup defisit tersebut. Permasalahan ini tentunya harus segera ditemukan solusinya agar tidak semakin berdampak negatif terhadap perekonomian dalam negeri.
Dalam tulisannya pada sebuah media massa, Prasetyantoko (pengajar pada Universitas Unika Atma Jaya Jakarta) berpendapat bahwa setidaknya ada dua elemen pokok yang harus ditata dalam kaitannya dengan usaha perbaikan kinerja perdagangan luar negeri Indonesia, yakni elemen kelembagaan dan elemen kebijakan teknis. Elemen kelembagaan sendiri memiliki peran yang cukup strategis karena berkaitan dengan faktor kepemimpinan, koordinasi dan kompetensi.
Pendapat Prasetyantoko tentang pentingnya elemen kelembagaan tersebut sejalan dengan temuan Hall dan Jones dalam sebuah penelitian di tahun 1999 yang berjudul “Why Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker Then Others”. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa social infrastructure adalah faktor utama yang dapat menjelaskan perbedaan kinerja perekonomian antar negara yang diukur melalui faktor output per worker. Hall dan Jones selanjutnya mendefinisikan social infrastructure sebagai: the institutions and government policies that provide incentives for individuals and firms in an economy. Those incentives can encourage productive activities such as the accumulation of skills or the development of new goods and production techniques, or those incentives can encourage predatory behaviour such as rent-seeking, corruption, and theft” (hal. 95).
Pentingnya peran institusi atau kelembagaan bagi perekonomian Indonesia juga telah ditunjukan melalui sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gultom pada tahun 2012. Penelitian yang berjudul “Desentralisasi, Perkembangan Investasi dan Iklim Usaha Daerah” tersebut menyimpulkan bahwa iklim usaha berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan rasio investasi terhadap pendapatan daerah pasca pelaksanaan desentralisasi. Daerah  yang memiliki iklim investasi yang “sejuk” berpeluang lebih besar untuk memperoleh arus investasi yang lebih besar. Iklim investasi tersebut tentunya sangat ditentukan oleh faktor social infrastructure/institusi/kelembagaan dari daerah itu sendiri. Rangkuman atas beberapa pendapat tentang pentingnya elemen kelembagaan tersebut dapat dilihat dalam sebuah kerangka pikir di bawah ini.


Berdasarkan kerangka pikir tersebut, setidaknya terdapat 5 elemen utama yang berperan dalam aktivitas perdagangan luar negeri, yaitu elemen kelembagaan, elemen regulasi, elemen pelaku utama, elemen aktivitas dan elemen tujuan. Elemen kelembagaan akan menjadi dasar atau fondasi bagi diterbitkannya regulasi dan berbagai sistem perdagangan untuk memfasilitasi aktivitas perdagangan. Regulasi dan sistem perdagangan tersebut akan menjadi acuan bagi pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap transaksi ekspor impor sekaligus menjadi panduan bagi eksportir, importir dan mitra dagang di negara lain untuk melaksanakan aktivitas perdagangan. Pemerintah selaku regulator selanjutnya akan melaksanakan proses koordinasi baik antar instansi pemerintah maupun antar pemerintah dengan pelaku ekspor impor (eksportir, importir dan mitra dagang) untuk memastikan setiap transaksi telah dilaksanakan sesuai dengan regulasi atau kebijakan yang telah ditetapkan. Dari proses tersebut tentunya diharapkan Indonesia dapat menikmati keuntungan berupa surplus neraca perdagangan.
Tahapan perencanaan perdagangan luar negeri sendiri berada pada elemen regulasi dan sistem perdagangan. Selain regulasi (misalnya: UU Perdagangan, Peraturan Menteri Perdagangan tentang Tata Cara Ekspor Impor, Permendag tentang Larangan dan Pembatasan Ekspor dan Impor, dan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bea Masuk Impor) dan sistem perdagangan (misalnya: sistem transportasi ekspor impor, mekanisme pembayaran ekspor impor, dan tata cara bongkar muat di pelabuhan), pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan kementerian teknis terkait lainnya juga melakukan perencanaan kebutuhan ekspor impor. Sebagai contoh, dalam perencanaan ekspor impor komoditas pertanian: 1) Kementerian Pertanian akan menetapkan jumlah produksi komoditas pertanian dan kebutuhan dalam negeri akan komoditas pertanian tersebut, 2) Kementerian Perindustrian akan menentukan berapa jumlah bahan baku industri dalam negeri yang berasal dari komoditas pertanian, 3) Kementerian Perdagangan berdasarkan rekomendasi dari kementerian teknis terkait akan menentukan berapa jumlah komoditas pertanian yang diekspor ke pasar internasional dan berapa jumlah komoditas pertanian yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat atau industri dalam negeri (bahan baku).
Dalam skema diatas, elemen kelembagaan sebagai faktor yang paling menentukan, harus dilihat dalam sudut pandang yang lebih luas. Kelembagaan tidak hanya diartikan sebagai pemerintah atau organisasi atau institusi yang bertanggung jawab dalam kegiatan perdagangan luar negeri, namun kelembagaan harus dipahami sebagai sebuah ekosistem yang mewadahi terjadinya kegiatan perdagangan luar negeri tersebut.
Faktor kepemimpinan dapat diterjemahkan sebagai arah kebijakan pembangunan ekonomi khususnya arah kebijakan perdagangan luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam era pemerintahan pasca reformasi, arah kebijakan tersebut dapat ditemukan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (yang masih berlaku: RPJP 2005-2025) yang selanjutnya digunakan sebagai pedoman di dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (yang masih berlaku: RPJMN 2010-2014) untuk periode lima tahunan dan Rencana Kerja Pemerintah untuk jangka waktu satu tahun. Dokumen perencanaan nasional tersebut selanjutnya akan menjadi landasan bagi Kementerian Perdagangan selaku kementerian yang bertugas menangani urusan pemerintahan di bidang perdagangan, untuk merumuskan arah kebijakan perdagangan dalam bentuk Rencana Strategis (yang masih berlaku: Renstra 2010-2014) dan Rencana Kerja Kementerian Perdagangan. Renstra dan Renja inilah yang selanjutnya akan menentukan arah kebijakan perdagangan luar negeri yang dilaksanakan oleh Kementerian Perdagangan.
Uraian diatas memperlihatkan posisi strategis dan keterkaitan antara RPJP yang menjadi dasar bagi keseluruhan arah pembangunan nasional dalam kurun waktu 20 tahun dengan kebijakan perdagangan luar negeri di level teknis yang dijalankan oleh Kementerian Perdagangan. Singkatnya, ketika salah menentukan RPJP, maka seluruh kebijakan pembangunan termasuk kebijakan perdagangan luar negeri tidak akan mencapai sasaran yang maksimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Faktor kepemimpinan dalam perdagangan luar negeri juga berbicara tentang paradigma yang melandasi kebijakan perdagangan. Sebagai contoh, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang baru saja diterbitkan pada tanggal 11 Maret 2014 dapat digunakan untuk menjelaskan pentingnya paradigma tersebut. Disatu sisi, penerbitan regulasi tersebut patut diapresiasi karena UU tersebut memperlihatkan komitmen pemerintah yang sangat pro pemberdayaan ekonomi dalam negeri. Namun disisi lain, komitmen pemerintah di dalam kerangka perdagangan internasional menjadi patut dipertanyakan karena UU tersebut tidak memasukan UU No 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) sebagai salah satu bahan pertimbangan hukum. UU No 7 Tahun 2014 pun tidak secara spesifik mengatur mengenai pencabutan UU No 7 Tahun 1994 yang merupakan bukti ratifikasi atau pengakuan Indonesia terhadap GATT/WTO. Dengan demikian, paradigma perdagangan luar negeri Indonesia menjadi “kurang tegas”, apakah akan tetap berada di dalam liberalisasi perdagangan atau akan semakin mengutamakan upaya peningkatan daya saing ekonomi dalam negeri melalui proteksi kreatif non tarif sesuai semangat UU perdagangan yang baru. Ketidaktegasan prinsip atau paradigma ini tentunya berpotensi menimbulkan keraguan dari sesama kolega di ranah perdagangan internasional dan tentunya akan berdampak kontraproduktif terhadap perencanaan perdagangan luar negeri Indonesia.
Faktor kedua dari elemen kelembagaan yang turut memiliki peran strategis adalah faktor koordinasi. Faktor koordinasi sangat menentukan sejak awal perencanaan perdagangan luar negeri. Penyusunan RPJP, RPJM dan RKP menuntut adanya koordinasi antara pihak eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) serta pengawasan dalam tataran implementasi oleh yudikatif (Kejaksaan dan Mahkamah Agung). Koordinasi juga dibutuhkan dalam kaitan dengan harmonisasi peraturan perdagangan baik di antar kementerian di pemerintah pusat maupun antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Tumpang tindih antar peraturan atau regulasi yang tidak memberikan insentif terhadap kegiatan perdagangan tentunya tidak akan memberikan ekosistem yang sehat bagi tumbuhnya aktivitas perekonomian.
Dalam tubuh pemerintah, koordinasi antar kementerian teknis dibutuhkan sejak tahapan perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan tahapan monitoring dan evaluasi pelaksanaan perdagangan luar negeri. Perencanaan impor komoditas daging sapi dapat digunakan untuk memberikan gambaran proses koordinasi tersebut. Setiap awal tahun anggaran Kementerian Pertanian akan menetapkan prognosa kebutuhan daging sapi dalam negeri yang berisi informasi tentang proyeksi kebutuhan dan produksi selama 1 tahun serta stok daging sapi tahun sebelumnya. Kementerian Perindustrian selanjutnya menentukan kebutuhan daging sapi sebagai bahan baku bagi industri dalam negeri. Data-data tersebut akan dibawa kedalam rapat koordinasi antar kementerian yang dipimpin oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Rapat koordinasi tersebut kemudian akan memutuskan jumlah kebutuhan daging sapi yang akan dipasok melalui produksi dalam negeri maupun melalui mekanisme impor dari luar negeri. Berdasarkan hasil rakor di Kementerian Koordinator Bidang Perkekonomian dan rekomendasi impor dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan akan menerbitkan Surat Persetujuan Impor bagi para importir untuk melakukan importasi daging sapi. Proses impor tersebut akan secara berkala dimonitor dan dievaluasi oleh berbagai kementerian dan lembaga terkait, dengan tujuan untuk memastikan bahwa proses impor yang dilakukan oleh importir telah sesuai dengan kebijakan dan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
Salah satu permasalahan koordinasi yang perlu dibenahi dalam kasus daging sapi tersebut adalah belum adanya kesatuan visi di dalam tubuh pemerintah (permasalahan ini juga ditemukan dalam sejumlah komoditas seperti kelompok tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura). Dalam berbagai kesempatan, perwakilan pemerintah seringkali menyatakan bahwa pemerintah sangat berkomitmen untuk mengurangi impor daging sapi dan berupaya untuk meningkatkan ekspor produk pengolahan daging sapi. Idealnya, pencapaian komitmen tersebut dapat dilaksanakan dalam bentuk peningkatan populasi dan produksi sapi dalam negeri melalui maksimalisasi sumber daya dan teknologi produksi oleh Kementerian Pertanian untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat dan kebutuhan bahan baku daging sapi bagi industri pengolahan, peningkatan penggunaan bahan baku industri yang berasal dari dalam negeri dan peningkatan nilai tambah ekspor produk berbahan baku daging sapi oleh Kementerian Pertanian, serta pengendalian transaksi ekspor dan impor oleh Kementerian Perdagangan. Namun dalam tataran implementasi, belum ada kesatuan persepsi dan komitmen di antara masing-masing kementerian. Kementerian Pertanian seakan tak mampu untuk meningkatkan produksi daging sapi dalam negeri meskipun telah memperoleh kucuran APBN yang tidak sedikit. Kementerian Perindustrian semakin bergantung pada bahan baku impor dengan menggunakan alasan “ketidakmampuan produsen domestik untuk memenuhi standar kualitas bahan baku yang dikehendaki industri” sebagai pembenaran. Setali tiga uang, Kementerian Perdagangan pun menjadikan alasan “stabilitasi harga untuk mencegah inflasi” sebagai pertimbangan utama untuk mengijinkan importasi daging sapi. Hasilnya, komitmen penurunan impor daging sapi tidak pernah tercapai.
Faktor ketiga yang tidak kalah pentingnya adalah kompetensi. Faktor kompetensi yang berkaitan dengan perencanaan perdagangan luar negeri adalah kompetensi regulator, kompetensi eksportir dan importir, kompetensi proses dan kompetensi komoditas. Kompetensi regulator berkaitan dengan kecakapan aparat pemerintah yang ditunjuk untuk mengatur, mengendalikan dan mengkoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan perdagangan luar negeri. Kompetensi ini sangat ditentukan oleh proses perekrutan CPNS di masing-masing kementerian/lembaga sampai dengan tahapan penentuan pejabat yang akan menduduki jabatan tertentu. Kompetensi eksportir dan importir sangat ditentukan oleh proses verifikasi calon eksportir dan importir yang berada dalam domain Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perindustrian. Kompetensi proses sangat terkait erat dengan sistem perdagangan yang ditetapkan oleh pemerintah, karena efisiensi dan efektivitas sistem perdagangan tersebut sangat berkaitan erat dengan daya saing produk yang diperdagangkan.
Kompetensi terakhir yang memerlukan perhatian khusus adalah kompetensi komoditi atau produk yang ditentukan oleh aturan standarisasi dan sangat menentukan kualitas dari komoditas yang diekspor atau diimpor. Isu standarisasi produk merupakan salah satu “hambatan non tarif” yang saat ini digunakan oleh negara-negara Uni Eropa untuk membatasi masuknya komoditas perikanan dari Indonesia. Negara-negara Uni Eropa tersebut memanfaatkan lemahnya penangangan (handling process) komoditas perikanan oleh eksportir Indonesia untuk menciptakan hambatan perdagangan. Penetapan standarisasi penanganan komoditas ekspor bertaraf internasional (sesuai standar ISO) dapat menjadi solusi untuk peningkatan kompetensi komoditas.

Dengan demikian, dalam perencanaan perdagangan luar negeri, elemen kelembagaan tidak hanya berperan sebagai sebuah institusi atau kebijakan pemerintah. Dalam skala yang lebih luas, elemen kelembagaan berperan sebagai ekosistem yang mewadahi setiap tahapan perdagangan yang meliputi: penyusunan regulasi dan sistem perdagangan (termasuk didalamnya penentuan kebutuhan domestik dan penetapan alokasi ekspor impor), pelaksanaan transaksi perdagangan serta aktivitas monitoring dan evaluasi atau pengendalian perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah. Ekosistem atau kelembagaan yang sehat sangat dibutuhkan dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan perdagangan luar negeri yang mengutamakan kepentingan nasional. Peranan faktor kepemimpinan, koordinasi dan kompetensi dalam perdagangan luar negeri sangat dibutuhkan, tidak hanya dalam hal pencapaian surplus perdagangan namun juga bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

No comments:

Post a Comment