Wednesday, 28 August 2013

Peran Variabel Social Infrastructure (Institusi) Dalam Teori Ekonomi

Tahun 1776 merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan ilmu ekonomi. Pada masa itu, Adam Smith menawarkan sebuah konsep ekonomi dalam bukunya “An Inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nations”. Dalam bukunya tersebut, Adam Smith menjelaskan bahwa perekonomian pada dasarnya akan berjalan dalam sebuah mekanisme independen dibawah komando invisible hand. Mekanisme supply-demand dengan sendirinya akan memampukan pasar untuk mencapai keseimbangan terbaiknya. Dengan kata lain ekonomi bergerak didalam sebuah kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri.

Sumber: http://avaxhome.ws/ebooks/economics_finances/Wealth_Nations2.html
Namun sejarah ekonomi berikutnya yang terjadi pada pertengahan tahun 1929 menjadi sebuah kritik penting terhadap teori Adam Smith. Kekuatan pasar bebas yang diusung oleh teori ini tidak mampu untuk menyelamatkan ekonomi dunia (Amerika pada khususnya) yang sedang mengalami Great Depression. Harga saham di Wall Street yang sebelumnya sedang berada di puncak terbaiknya tiba-tiba anjlok drastis sehingga membawa perekonomian Amerika ke zona yang mengkhawatirkan. Jika mengacu pada teori Adam Smith, seharusnya perekonomian mampu untuk kembali ke kondisi normal dengan sendirinya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Penarikan investasi besar-besaran yang tidak terelakan dan pertumbuhan ekonomi yang semakin memburuk adalah beberapa tanda dari kegagalan teori Adam Smith untuk menyelamatkan pasar.

John Maynard Keynes kemudian menawarkan jalan keluar untuk mengatasi Great Depression dalam bukunya yang berjudul The General Theory of Employment, Interest and Money. Keynes melihat bahwa rendahnya Permintaan Agregat pada saat itu merupakan alasan utama dibalik ketidakmampuan pasar untuk menolong dirinya sendiri. Dengan demikian, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk sesegera mungkin mengintervensi pasar dengan kebijakan-kebijakannya dalam rangka perbaikan permintaan agregat, sehingga pasar atau perekonomian dapat kembali menggeliat.
Konsep Keynes pun berkembang menjadi Teori Keynesian Baru yang berpandangan bahwa tidak hanya faktor permintaan agregat yang harus disorot, namun faktor penawaran agregat pun tidak kalah pentingnya dalam pergerakan perekonomian sebuah negara. Tapi salah satu faktor yang tidak berubah dalam Keynesian Baru adalah pentingnya faktor pemerintah dan kebijakannya dalam perekonomian. Uraian diatas memberikan gambaran bahwa ada faktor non ekonomi (pemerintah atau institusi) yang tidak dapat dipisahkan dari proses pengembangan teori-teori ekonomi klasik (Adam Smith dan Keynes) ke arah teori-teori ekonomi modern.
Tidak dapat dipungkiri bahwa teori-teori ekonomi klasik telah membantu ekonom di seluruh dunia untuk membedah berbagai fenomena ekonomi yang mereka hadapi. Teori ekonomi klasik telah bertindak sebagai dasar bagi pengembangan teori baru maupun pemecahan masalah-masalah ekonomi yang terjadi. Namun disisi lain, tidak dapat dipungkiri juga bahwa teori ekonomi klasik dibangun diatas asumsi-asumsi yang merupakan penyederhanan dari situasi yang sebenarnya terjadi.
Menurut E. Roy Weintraub, ada 3 asumsi dasar dari teori ekonomi klasik yaitu 1) People have rational preferences among outcomes that can be identified and associated with a value, 2) Individuals maximize utility and firms maximize profits, dan 3) People act independently on the basis of full and relevant information. Asumsi pertama dan kedua menjelaskan bahwa manusia akan cenderung rasional dalam dua hal yaitu dalam menentukan pilihannya dan dalam memaksimalkan keuntungannya. Kedua asumsi ini didasarkan pada asumsi yang ketiga dimana manusia diasumsikan akan bertindak secara bebas dan rasional dikarenakan telah memperoleh informasi yang relevan secara lengkap. Kelemahan dari asumsi-asumsi ini adalah bahwa rasionalitas pilihan dari manusia sebagai agen ekonomi akan didahului oleh sebuah proses pengambilan keputusan yang tentunya juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, dimana salah satu faktor utamanya adalah ketersediaan informasi. Meskipun diasumsikan bahwa manusia telah memperoleh full and relevant information, kenyataan dalam kehidupan sehari-hari justru memperlihatkan sebaliknya. Tidak selamanya manusia dapat memperoleh informasi secara lengkap sebelum menentukan pilihan-pilihan ekonomi yang harus dilakukan.
Selain ketiga asumsi diatas, teori ekonomi klasik juga mengasumsikan bahwa transaksi yang terjadi di pasar akan berlangsung tanpa friksi (tidak ada masalah koordinasi) dan tanpa biaya. Kondisi ini sangat berbeda ketika melihat langsung transaksi ekonomi yang berlangsung di Indonesia. Pengerjaan sebuah proyek baik oleh pemerintah atau swasta akan melibatkan koordinasi dengan banyak pihak yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Contoh nyata untuk menggambarkan hal ini dapat dilihat ketika seorang investor akan menentukan dimana dia akan menginvestasikan dananya. Ketika akan memutuskan untuk berinvestasi di salah satu perusahaan domestik, investor tentunya akan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang perusahaan yang akan memberikan keuntungan maksimal baginya. Sebanyak apapun informasi yang dikumpulkan oleh investor tersebut, investasi yang dilakukannya tetap akan memiliki nilai resiko gagal. Hal ini dikarenakan tidak akan mungkin bagi investor tersebut untuk mengumpulkan semua informasi secara lengkap tentang peluang investasinya. Ada keterbatasan yang dia miliki untuk memperoleh informasi. Hal yang sama juga akan dihadapi jika dia memutuskan untuk berinvestasi di luar negeri. Misalkan ada dua buah perusahaan di negara yang berbeda dimana perusahaan yang satu akan memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dibanding perusahaan yang lain. Jika mengacu pada asumsi ekonomi klasik, tentunya investor tersebut dapat langsung memilih untuk berinvestasi di perusahaan yang memberikan keuntungan terbesar. Namun dalam kenyataannya, bisa saja investor tersebut memilih untuk berinvestasi di perusahaan yang memberikan keuntungan yang lebih kecil. Hal ini dikarenakan banyak faktor lain yang menjadi pertimbangan investor dalam menentukan pilihannya. Salah satu faktor tersebut adalah iklim investasi dan situasi politik di masing-masing negara.
Argumentasi atas asumsi ekonomi klasik diatas akan membawa kita pada sebuah pemahaman baru tentang manusia dan ekonomi, yaitu bahwa manusia sebagai agen ekonomi bukanlah bersifat perfect rational man, melainkan bounded rationality, manusia tetap akan bersifat rasional tetapi rasional yang terbatas. Bounded Rationality mengindikasikan: adanya keterbatasan akan akses informasi dan kemampuan komputasi (lack of knowledge and limited information), pilihan-pilihan atau preferensi manusia ada dalam kondisi yang tidak tetap, dan prinsip rasionalitas dari maksimisasi kepuasan. Aspek lain yang perlu disoroti terkait dengan asumsi ekonomi klasik adalah bahwa sebuah teori ekonomi akan berlaku jika dan hanya jika faktor-faktor pendukungnya dianggap tetap (ceteris paribus). Dalam kenyataan tentunya asumsi ceteris paribus ini sulit untuk terjadi, semua faktor dalam teori ekonomi (baik faktor utama maupun faktor pendukung) akan bergerak pada saat yang sama dan cenderung untuk terus bergerak.
Pada akhirnya, asumsi ekonomi yang lebih realistis menjadi kebutuhan utama baik bagi para ekonom dan pengambil kebijakan pada khususnya maupun masyarakat pada umumnya. Ilmu ekonomi tidak hanya dituntut untuk sekedar berasas Scientific Instrumentalism (membangun teori untuk menjelaskan fenomena-fenomena ekonomi yang terjadi) tapi harus lebih bersifat Scientific Realism (primarily aims at formulating true). Untuk membangun teori ekonomi yang bersifat Scientific Realism, diperlukan sebuah faktor utama yang sebelumnya lebih dipandang sebagai variabel residual dalam membangun teori-teori ekonomi (Hall and Jones, 1999) yakni variabel Social Infrastructure atau variabel institusi.
Pada tahun 1999, Hall dan Jones menerbitkan sebuah Jurnal yang berjudul “Why Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker Than Others”. Jurnal ini menyimpulkan bahwa social infrastructure adalah faktor utama yang dapat menjelaskan perbedaan kinerja perekonomian antar negara yang diukur melalui faktor output per worker.  Hall dan Jones mendefinisikan social infrastructure sebagai the institutions and government policies that provide the incentives for individuals and firms in an economy. Those incentives can encourage productive activities such as the accumulation of skills or the development of new goods and production techniques, or those incentives can encourage predatory behavior such as rent-seeking, corruption, and theft” (hal. 95). Salah satu temuan penting yang disajikan dalam jurnal ini adalah “A difference of .01 in social infrastructure is associated with a difference in output per worker of 5.14 percent. With a standard error of .508, this coefficient is estimated with considerable precision” (hal. 105)Temuan Hall dan Jones sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh Keynes pada tahun 1930-an bahwa peran institution and government policies (social infrastructure) sangat signifikan dalam menggerakan perekonomian.
Penelitian Gultom (2012) “Desentralisasi, Perkembangan Investasi dan Iklim Usaha di Daerah” pun menghasilkan temuan senada, iklim usaha berpengaruh secara positif terhadap pertumbuhan rasio investasi terhadap pendapatan daerah. Iklim usaha di suatu daerah tentunya ikut dipengaruhi oleh social infrastructure yang dimiliki oleh daerah tersebut. Semakin sehat regulasi investasi dan kondisi pemerintahan (social infrastructure) di sebuah daerah, maka akan semakin “sejuk” iklim investasi di daerah tersebut. Dengan sendirinya iklim investasi yang positif tersebut akan mendongkrak pertumbuhan investasi dan pendapatan daerah.
Dapat kita lihat bahwa terdapat hubungan antara social infrastructure atau institusi dalam kaitannya dengan ekonomi. Secara umum institusi ditujukan untuk mereduksi ketidakpastian dengan menyediakan struktur bagi kehidupan sehari-hari, menjadi panduan bagi interaksi manusia dan sekaligus sebagai dasar kesepakatan dan kepercayaan dalam suatu transaksi. Secara ekonomi, terminologi institusi dipandang dapat membatasi rangkaian pilihan individu. Berdasarkan aspek-aspek inilah maka sangat tepat ketika World Bank mendefinisikan institusi sebagai rules, roles, and structures organized by people to conduct their joint activities.
Gambaran yang lebih konkrit tentang hubungan antara social infrastructure dan teori ekonomi serta asumsinya, akan terlihat jelas ketika kita menggabungkan rasionalisasi asumsi ekonomi klasik, temuan Hall dan Jones, temuan Gultom dan definisi institusi serta kegunaannya dalam contoh kasus pilihan investasi  yang telah dibahas sebelumnya: Ketika asumsi-asumsi teori ekonomi klasik dirasionalisasi, maka akan terdapat banyak faktor yang mempengaruhi pilihan investasi seorang investor. Salah satu penyebabnya adalah dihilangkannya asumsi ceteris paribus. Sehingga indikator keuntungan yang maksimum saja masih belum cukup. Temuan Gultom menyarankan agar investor juga memperhatikan iklim investasi di negara atau daerah tujuan investasinya. Temuan John dan Hall lebih spesifik lagi menyarankan pada investor agar mempelajari social infrastructure dari masing-masing negara yang menjadi alternatif tujuan investasi. Asumsi ekonomi klasik akan menyarankan investor untuk memilih tingkat pengembalian yang maksimal (seberapa banyak keuntungannya). Namun, pertimbangan faktor social infrastructure menjadikan pilihan investasi investor menjadi lebih rasional (daerah tujuan investasi mana yang lebih menjamin peluangnya untuk memperoleh keuntungan).
Dalam perkembangannya, institusi pun memiliki peran untuk menjelaskan fenomena ekonomi seperti mengapa perkembangan ekonomi di negara berkembang berbeda dengan negara maju dan mengapa suatu model/kebijakan yang berjalan di negara maju tidak menghasilkan keluaran yang sama jika diterapkan di negara berkembang. Institusi juga berperan untuk memperluas analisa ekonomi karena ikut menyertakan komponen biaya untuk mencari informasi, biaya koordinasi, biaya transaksi dan property rights. Institusi yang efektif akan mendorong terjadinya kerjasama antar agen ekonomi sehingga mengurangi komponen biaya tersebut. Selain itu institusi pun dapat memberi keakuratan dalam melakukan restrukturisasi ekonomi atau manajemen proyek pembangunan.

Sebagai kesimpulan dari uraian di atas, telah dijelaskan bahwa teori ekonomi klasik dibangun diatas asumsi yang lebih bertujuan untuk menyederhanakan situasi yang sebenarnya terjadi. Hal ini yang menyebabkan teori ekonomi klasik menjadi kurang ampuh ketika hendak diaplikasikan dalam menyelesaikan fenomena atau masalah ekonomi di dunia nyata. Rasionalisasi asumsi ekonomi klasik dibutuhkan untuk menghadirkan teori-teori ekonomi yang lebih bersifat Scientific Realism. Dengan adanya rasionalisasi asumsi ekonomi klasik, maka manusia sebagai agen ekonomi tidak lagi bertindak sebagai Perfect Rational Man namun lebih bersifat Bounded Rationality. Salah satu dampak dari aplikasi teori ekonomi yang bersifat Scientific Realism adalah adanya begitu banyak ketidakpastian yang harus dihadapi manusia ketika melakukan pilihan-pilihan ekonominya. Social Infrastructure pada akhirnya ditujukan untuk mengeliminasi berbagai ketidakpastian tersebut dengan tujuan untuk membantu manusia sebagai Agen Ekonomi untuk menerapkan berbagai teori ekonomi yang ada dalam mengambil keputusan di dunia nyata.

No comments:

Post a Comment