Saturday, 8 December 2012

Diklat Jurnalistik 2

MEMPERTANYAKAN KEBIJAKAN ANGGARAN PEMERINTAH

JAKARTA, TEK – Tuntutan terhadap adanya kebijakan pemerintah yang pro rakyat saat ini terus berkembang. Masyarakat menuntut agar pemerintah dalam mengalokasikan anggaran lebih berfokus pada kepentingan masyarakat kelas bawah yang lebih membutuhkan. Sinyalemen ini ditandai dengan adanya berbagai kegiatan unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya para mahasiswa. Pertanyaan yang kemudian berkembang adalah, benarkah pemerintah telah mengeluarkan kebijakan anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat?

Data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2011 dan APBN-P 2012 khususnya pada 4 jenis belanja (Belanja Pegawai, Belanja Modal, Subsidi dan Bantuan Sosial) menunjukan bahwa komponen belanja Subsidi dan Bantuan Sosial memiliki porsi yang cukup besar dibanding 2 kelompok belanja lainnya. Porsi Subsidi dan Bantuan Sosial pada tahun 2011 dan 2012 masing-masing adalah 55,5% dan 44,1% dari total belanja pemerintah. Dengan presentase Subsidi dan Bantuan Sosial yang cukup besar tentunya pihak yang paling diuntungkan adalah masyarakat. Hal ini dikarenakan penyaluran kedua jenis belanja ini ditujukan untuk langsung dapat menggerakan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. RAPBN 2013 yang sudah diumumkan oleh pemerintah pun tetap berusaha “menjaga kestabilan” presentase Subsidi dan Bantuan Sosial pada level 46%, dengan nilai nominal masing-masing Rp316.097,5 Milyar untuk Subsidi dan Rp59.039,3 Milyar untuk Bantuan Sosial.

Fakta diatas tentunya dapat menjawab keraguan masyarakat atas kebijakan anggaran pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Namun pertanyaan yang lebih penting adalah, apakah kebijakan anggaran ini berdampak positif bagi perekonomian Indonesia dalam jangka panjang? Nota Keuangan dan APBN-P 2012 menunjukan adanya peningkatan pada komponen Cicilan Hutang, Defisit ABPN dan Penarikan Pinjaman selama periode 2008-2012. Cicilan Hutang tahun 2012 mengalami peningkatan sebesar 45,8% dari Rp198,65 Trilyun pada tahun 2008 menjadi Rp289,71 Trilyun atau naik 21,5% bila dibandingkan dengan periode sebelumnya di tahun 2011. Defisit APBN (selisih negatif antara Pendapatan dan Belanja Pemerintah) terus membengkak dari Rp4,12 Trilyun di tahun 2008 menjadi Rp190,11 Trilyun di tahun 2012. Disisi lain, penarikan pinjaman yang dilakukan oleh pemerintah meningkat sebesar 63,2% sejak tahun 2008 menjadi Rp319,06 Trilyun di tahun 2012.

Data ini memperlihatkan bahwa dana pinjaman yang diperoleh pemerintah digunakan untuk membiayai cicilan hutang dan menutupi defisit APBN. Dengan kata lain hanya sebagian kecil dari dana pinjaman luar negeri yang dapat digunakan untuk membiayai proyek-proyek investasi. Kemampuan pemerintah untuk berinvestasi semakin berkurang dengan kecilnya porsi anggaran yang disediakan untuk Belanja Modal. Porsi belanja modal terhadap total 4 kelompok belanja pada APBN 2011, 2012 dan 2013 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat hanyalah sebesar 17,8%, 24,8% dan 24,4%. Dalam jangka panjang, pemerintah akan semakin sulit untuk melakukan investasi melalui instrumen belanja modal sehingga akan bermuara pada melemahnya pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kembali struktur anggaran yang selama ini digunakan. Kebijakan anggaran pemerintah memang telah berpihak kepada rakyat bawah tapi tidak berpihak pada ekonomi Indonesia dalam jangka panjang. Porsi Belanja Subsidi dan Bantuan Sosial sebaiknya dikurangi dan dialihkan kepada Belanja Modal yang memiliki efek multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian. Dengan struktur anggaran yang lebih menitikberatkan pada Belanja Modal, maka kemampuan pemerintah untuk menggerakan perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi akan semakin besar.

No comments:

Post a Comment