MEMPERTANYAKAN KEBIJAKAN ANGGARAN PEMERINTAH
JAKARTA, TEK – Tuntutan terhadap adanya kebijakan pemerintah yang pro
rakyat saat ini terus berkembang. Masyarakat menuntut agar pemerintah dalam
mengalokasikan anggaran lebih berfokus pada kepentingan masyarakat kelas bawah
yang lebih membutuhkan. Sinyalemen ini ditandai dengan adanya berbagai kegiatan
unjuk rasa yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya para
mahasiswa. Pertanyaan yang kemudian berkembang adalah, benarkah pemerintah
telah mengeluarkan kebijakan anggaran yang tidak berpihak kepada rakyat?
Data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2011 dan APBN-P 2012
khususnya pada 4 jenis belanja (Belanja Pegawai, Belanja Modal, Subsidi dan
Bantuan Sosial) menunjukan bahwa komponen belanja Subsidi dan Bantuan Sosial
memiliki porsi yang cukup besar dibanding 2 kelompok belanja lainnya. Porsi
Subsidi dan Bantuan Sosial pada tahun 2011 dan 2012 masing-masing adalah 55,5%
dan 44,1% dari total belanja pemerintah. Dengan presentase Subsidi dan Bantuan
Sosial yang cukup besar tentunya pihak yang paling diuntungkan adalah
masyarakat. Hal ini dikarenakan penyaluran kedua jenis belanja ini ditujukan
untuk langsung dapat menggerakan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. RAPBN
2013 yang sudah diumumkan oleh pemerintah pun tetap berusaha “menjaga kestabilan”
presentase Subsidi dan Bantuan Sosial pada level 46%, dengan nilai nominal
masing-masing Rp316.097,5 Milyar untuk Subsidi dan Rp59.039,3 Milyar untuk
Bantuan Sosial.
Fakta diatas tentunya dapat menjawab keraguan masyarakat atas
kebijakan anggaran pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Namun pertanyaan
yang lebih penting adalah, apakah kebijakan anggaran ini berdampak positif bagi
perekonomian Indonesia dalam jangka panjang? Nota Keuangan dan APBN-P 2012
menunjukan adanya peningkatan pada komponen Cicilan Hutang, Defisit ABPN dan
Penarikan Pinjaman selama periode 2008-2012. Cicilan Hutang tahun 2012
mengalami peningkatan sebesar 45,8% dari Rp198,65 Trilyun pada tahun 2008
menjadi Rp289,71 Trilyun atau naik 21,5% bila dibandingkan dengan periode
sebelumnya di tahun 2011. Defisit APBN (selisih negatif antara Pendapatan dan
Belanja Pemerintah) terus membengkak dari Rp4,12 Trilyun di tahun 2008 menjadi
Rp190,11 Trilyun di tahun 2012. Disisi lain, penarikan pinjaman yang dilakukan
oleh pemerintah meningkat sebesar 63,2% sejak tahun 2008 menjadi Rp319,06
Trilyun di tahun 2012.
Data ini memperlihatkan bahwa dana pinjaman yang diperoleh pemerintah
digunakan untuk membiayai cicilan hutang dan menutupi defisit APBN. Dengan kata
lain hanya sebagian kecil dari dana pinjaman luar negeri yang dapat digunakan
untuk membiayai proyek-proyek investasi. Kemampuan pemerintah untuk
berinvestasi semakin berkurang dengan kecilnya porsi anggaran yang disediakan
untuk Belanja Modal. Porsi belanja modal terhadap total 4 kelompok belanja pada
APBN 2011, 2012 dan 2013 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat hanyalah
sebesar 17,8%, 24,8% dan 24,4%. Dalam jangka panjang, pemerintah akan semakin
sulit untuk melakukan investasi melalui instrumen belanja modal sehingga akan
bermuara pada melemahnya pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian pemerintah diharapkan dapat mengevaluasi kembali
struktur anggaran yang selama ini digunakan. Kebijakan anggaran pemerintah
memang telah berpihak kepada rakyat bawah tapi tidak berpihak pada ekonomi
Indonesia dalam jangka panjang. Porsi Belanja Subsidi dan Bantuan Sosial
sebaiknya dikurangi dan dialihkan kepada Belanja Modal yang memiliki efek
multiplier yang lebih besar terhadap perekonomian. Dengan struktur anggaran
yang lebih menitikberatkan pada Belanja Modal, maka kemampuan pemerintah untuk
menggerakan perekonomian dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi akan semakin
besar.
No comments:
Post a Comment