Memori itu masih sangat jelas teringat. Perkelahian antara dua pemuda di Pasar Mardika tiba-tiba berkembang menjadi pembakaran rumah ibadah di berbagai tempat. Setelah itu masyarakat yang sekian lama hidup bersanding penuh damai, seketika berubah menjadi musuh yang saling membenci dan membunuh satu sama lain. Saya tidak akan pernah melupakan kejadian dimana seorang tentara dan teman wanitanya diseret dari tengah-tengah pemukiman sampai ke jalan raya. Tidak hanya diseret, paha kedua manusia tersebut diiris dengan parang oleh sejumlah anak muda yang sama sekali sudah kehilangan rasa kemanusiaan. Hanya benci dan amarah yang tersisa.

Pertikaian warga yang pada awalnya hanya menggunakan parang dan bom rakitan, lambat laun berubah menjadi perang yang menggunakan senjata mesin, granat tangan dan bazooka. Tentara dan Polisi selaku pihak yang seharusnya berada pada posisi netral, akhirnya ikut terpengaruh membagi diri kedalam dua kubu yang bertikai. Melihat semua peristiwa yang terjadi selama 4 tahun tersebut, susah rasanya untuk tidak percaya bahwa kerusuhan Ambon bukan merupakan kreasi sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab. Warga yang mudah diprovokasi hanyalah korban dari sebuah kepentingan yang tidak berani menampakan wajahnya.
Hari ini keyakinan akan faktor settingan tersebut seakan kembali memperoleh penegasan. Sejak tanggal 3 Maret kemarin, saya dan beberapa teman kantor sedang mengikuti pelatihan jurnalistik di Hotel Alila Jakarta. Disinilah saya bertemu dengan salah seorang wartawan yang sangat memahami mengenai konflik Ambon dan perkembangan pers Maluku. P. Hasudungan Sirait atau yang akrab dipanggil dengan Pak Has adalah orang yang saya maksud. Beliau adalah salah seorang penulis senior yang menjadi pembicara utama dalam diklat tersebut. Dalam percakapan di waktu rehat, beliau lantas menceritakan hasil riset beliau tentang konflik Ambon.
Beberapa bulan sebelum terjadinya perkelahian yang menyulut konflik tersebut, sebuah konflik terlebih dahulu terjadi. Bukan di Ambon, melainkan di Jakarta. Dua kelompok masa yang didominasi oleh pemuda-pemuda Ambon (walaupun lebih tepat disebut sebagai preman) beberapa kali terlibat perkelahian di Jalan Gajah Mada. Dua kelompok tersebut dipisahkan oleh dua kepentingan yang berbeda, namun yang jelas bukanlah atas dasar kepentingan agama. Adalah kepentingan yang berbau kriminal yang menjadi faktor penyulut pertikaian tersebut. Satu-satunya yang menjadi persamaan dari kedua kelompok tersebut adalah mereka mayoritas berasal dari Timur Indonesia, dari Maluku.
Konflik tersebut terus berkembang, terjadi berulang-ulang dan pada akhirnya menjadi sulit untuk dikendalikan oleh otoritas keamanan di Jakarta Pusat. Akhirnya dikeluarkanlah kebijakan pembersihan preman dari Jakarta khususnya yang berada di lokasi konflik tersebut. Para preman tersebut kemudian "digiring" untuk pulang ke Maluku dengan menumpang kapal penumpang. Masalahnya adalah preman-preman tersebut dipulangkan tanpa terlebih dahulu diselesaikan akar permasalahannya.
Beberapa bulan kemudian, pecahlah konflik di kota Ambon yang katanya disebabkan oleh perkelahian oleh seorang pemuda Kristen dan Islam di Pasar Mardika. Cukup aneh memang. Perkelahian antar pemuda adalah hal yang biasa terjadi. Tidak hanya di Ambon, tapi juga di di kota besar seperti Jakarta. Tengok saja perkelahian preman atau pelajar yang sering terjadi di ibukota. Jadi rasanya sangat janggal jika harus mempercayai bahwa sebuah perkelahian di pasar bisa menyulut kerusuhan berbau agama yang mengorbankan sejumlah besar nyawa manusia. Bahkan harus memakan waktu 4 tahun sebelum mereda, meskipun dengan meninggalkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan.
Benar tidaknya settingan konflik Ambon memang masih harus dibuktikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Namun melihat berbagai "keanehan" yang terjadi selama kerusuhan tersebut, rasanya siapapun akan memiliki dugaan yang sama. Sejarah kelam tersebut bukanlah sesuatu yang murni terjadi dengan sendirinya.
Jadi, benarkah konflik Ambon disetting?? Jika benar, semoga Tuhan mengampuni sang kreator.
Beberapa bulan sebelum terjadinya perkelahian yang menyulut konflik tersebut, sebuah konflik terlebih dahulu terjadi. Bukan di Ambon, melainkan di Jakarta. Dua kelompok masa yang didominasi oleh pemuda-pemuda Ambon (walaupun lebih tepat disebut sebagai preman) beberapa kali terlibat perkelahian di Jalan Gajah Mada. Dua kelompok tersebut dipisahkan oleh dua kepentingan yang berbeda, namun yang jelas bukanlah atas dasar kepentingan agama. Adalah kepentingan yang berbau kriminal yang menjadi faktor penyulut pertikaian tersebut. Satu-satunya yang menjadi persamaan dari kedua kelompok tersebut adalah mereka mayoritas berasal dari Timur Indonesia, dari Maluku.
Konflik tersebut terus berkembang, terjadi berulang-ulang dan pada akhirnya menjadi sulit untuk dikendalikan oleh otoritas keamanan di Jakarta Pusat. Akhirnya dikeluarkanlah kebijakan pembersihan preman dari Jakarta khususnya yang berada di lokasi konflik tersebut. Para preman tersebut kemudian "digiring" untuk pulang ke Maluku dengan menumpang kapal penumpang. Masalahnya adalah preman-preman tersebut dipulangkan tanpa terlebih dahulu diselesaikan akar permasalahannya.
Beberapa bulan kemudian, pecahlah konflik di kota Ambon yang katanya disebabkan oleh perkelahian oleh seorang pemuda Kristen dan Islam di Pasar Mardika. Cukup aneh memang. Perkelahian antar pemuda adalah hal yang biasa terjadi. Tidak hanya di Ambon, tapi juga di di kota besar seperti Jakarta. Tengok saja perkelahian preman atau pelajar yang sering terjadi di ibukota. Jadi rasanya sangat janggal jika harus mempercayai bahwa sebuah perkelahian di pasar bisa menyulut kerusuhan berbau agama yang mengorbankan sejumlah besar nyawa manusia. Bahkan harus memakan waktu 4 tahun sebelum mereda, meskipun dengan meninggalkan luka yang tidak mudah untuk disembuhkan.
Benar tidaknya settingan konflik Ambon memang masih harus dibuktikan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Namun melihat berbagai "keanehan" yang terjadi selama kerusuhan tersebut, rasanya siapapun akan memiliki dugaan yang sama. Sejarah kelam tersebut bukanlah sesuatu yang murni terjadi dengan sendirinya.
Jadi, benarkah konflik Ambon disetting?? Jika benar, semoga Tuhan mengampuni sang kreator.
Baru tahu..dari dulu juga mikirnya pasti ada cerita dibalik semuanya bukan hanya sekedar masalah Agama
ReplyDeleteJadi inget pernah baca dimana gitu seorang pernah berkata "indonesia suatu saat akan hancur karena keberagamannya" dan kata-katanya terbukti dengan konflik ini
Anyway, nice post kak :)
Makasih Mamanya Leon :)
DeleteMeskipun konfliknya sudah selesai, Tuhan belum selesai dengan "mereka" :)