Jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi
pembuatan film masa kini, 12 Angry Men tentunya tidak dapat disejajarkan
dengan kualitas film saat ini yang sudah berada pada tahapan introduksi teknologi
tingkat tinggi. Berbeda jauh dengan film era tahun 2000-an yang sudah mengusung
teknologi High Definition dan
tampilan 3 dimensi atau 3D, film yang dibuat pada tahun 1957 tersebut masih
bertema hitam putih dengan dukungan teknologi yang tergolong “biasa saja”. Bahkan hampir
sebagian besar adegan yang berlangsung dalam film tersebut hanya dilakukan di dalam sebuah ruangan. Namun
kesederhanaan tersebut tidak menjadikan 12 Angry Men sebagai sebuah film yang
biasa-biasa saja. Sebaliknya, film yang menampilkan 12 tokoh utama tersebut
justru menuai sejumlah penghargaan di bidang perfilman dan meninggalkan
sejumlah legacy yang bernilai bagi dunia perfilman
saat ini. Pertanyaannya, apa yang menjadi kekuatan atau keunggulan dari film
tersebut??

12 Angry Men mengisahkan tentang 12 orang juri
yang ditugaskan oleh hakim untuk mengambil keputusan atas sebuah kasus
pembunuhan berencana. Dalam persidangan tersebut, seorang anak laki-laki berumur 18 tahun didakwa membunuh ayah
kandungnya dan oleh pengadilan telah dituntut dengan hukuman mati. Kedua belas
juri tersebut selanjutnya dikumpulkan dalam sebuah ruangan untuk mengambil
keputusan, apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Keputusan juri
diwajibkan untuk diputuskan berdasarkan kesepakatan bulat. Dengan demikian
hanya ada dua kemungkinan, 12 juri yang sepakat atas keputusan bersalah dan
berakhir dengan pemberian hukuman mati di kursi listrik atau 12 juri yang
sepakat atas keputusan tidak bersalah dan membebaskan terdakwa.
Kekuatan utama dari film bergenre legal drama ini terletak pada alur
cerita dan dialog antar tokoh yang mampu membawa penonton untuk ikut
menganalisis berbagai argumentasi dan pendapat yang dijelaskan oleh masing-masing
tokoh. Hal menarik lainnya adalah identitas kedua belas juri sama sekali tidak
disebutkan didalam alur cerita, sehingga penonton diajak untuk mengenali
karakter tokoh melalui dialog yang dilontarkan oleh masing-masing peran. Hanya
dua tokoh yang kemudian memperkenalkan identitas mereka pada akhir film, yaitu
Mr. Davis (juri nomor 8) dan Mr. McCardle (juri nomor 9). Satu-satunya
identitas yang diberikan tentang masing-masing tokoh adalah nomor urut juri
1-12 yang diberikan oleh pengadilan.
Konflik di dalam film tersebut dimulai ketika para
juri memutuskan untuk melakukan voting untuk menentukan keputusan apakah
terdakwa harus dinyatakan bersalah atau tidak. Hasil pemungutan suara
menunjukan bahwa 11 juri sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa
dan hanya satu orang juri, yakni juri no. 8, yang memilih opsi tidak bersalah.
Juri no. 8 berpendapat bahwa tidak semestinya penentuan keputusan bersalah bagi
terdakwa hanya ditentukan oleh pemungutan suara tanpa terlebih dahulu dilakukan
diskusi terkait fakta-fakta persidangan.
![]() |
Henry Fonda |
Disinilah tokoh yang diperankan oleh Henry Fonda
tersebut memperkenalkan konsep tentang reasonable
doubt yang berlaku dalam konteks hukum khususnya di dalam dunia peradilan
Amerika Serikat. Dalam sebuah dialognya di dalam film tersebut, juri no. 8
berkata bahwa “No jury can declare a man
guilty unless it’s sure”. Reasonable
doubt adalah alasan kenapa juri no. 8 memutuskan untuk memilih keputusan
tidak bersalah. Saat tidak yakin apakah terdakwa bersalah atau tidak, dia
memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Salah satu hal yang
mendukung keraguannya adalah ketidakyakinannya atas fakta persidangan yang
menyatakan bahwa pisau yang digunakan oleh terdakwa untuk membunuh korban
adalah pisau dengan ukiran unik yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain.
Kenyataanya, satu malam sebelum pelaksanaan persidangan pembacaan putusan, juri
no. 8 berhasil membeli pisau dengan bentuk dan ukuran yang sama dengan barang
bukti, dari sebuah toko yang berada tidak jauh dari TKP dengan harga $6.
Keraguan yang dimiliki oleh juri no. 8 berhasil
mempengaruhi pendapat juri no. 9 yang kemudian mengubah keputusannya menjadi “tidak
bersalah” karena merasakan hal yang sama, keraguan untuk memberikan keputusan
“bersalah”. Pendapat tidak bersalah kembali ditentang oleh kelompok pro keputusan
bersalah yang didominasi oleh juri no. 3, juri no. 4 dan juri no. 10, yang
mencoba menjelaskan kembali berbagai bukti yang sudah diungkapkan didalam
pengadilan, khususnya tentang dua saksi utama yang dihadirkan di persidangan
dan alibi terdakwa yang mengaku sedang berada di bioskop ketika peristiwa
pembunuhan berlangsung.
Pada saat pembunuhan dilakukan pada jam 12 malam
lewat 10 menit, seorang pria tua yang tinggal di lantai bawah apartemen yang
sama dengan TKP mendengar pertengkaran dan seseorang yang berteriak “I am going to kill you”. Tidak lama setelah
mendengar suara tubuh manusia yang jatuh di lantai apartemen, pria tua tersebut
lantas bergegas menuju pintu apartemen untuk melihat apa yang terjadi. Saat
itulah dia melihat terdakwa sedang berlari menuruni tangga dan keluar dari
apartemen. Pria tua tersebut meyakini bahwa dia membutuhkan waktu 15 detik
untuk mencapai pintu apartemennya setelah mendengar suara tubuh yang terjatuh.
Disaat yang sama, seorang wanita yang tinggal di seberang apartemen melihat kejadian pembunuhan tersebut. Meskipun terhalang 6 buah gerbong kereta
yang melintas diantara apartemen wanita itu dengan apartemen TKP,
perempuan tersebut yakin bahwa dia bisa melihat peristiwa pembunuhan melalui jendela
dua gerbong terakhir dari kereta yang melintas.
Bagi juri no. 8 kedua kesaksian itu justru semakin
menguatkan keraguannya bahwa terdakwa bersalah. Dia meragukan kemampuan seorang
pria tua untuk mendengar pertengkaran dan teriakan terdakwa sementara disaat yang
sama sedang melintas 6 gerbong kereta yang menimbulkan suara bising. Setelah
dilakukan simulasi berpindahnya pria tua tersebut dari tempat tidurnya ke pintu
utama, ditemukan bahwa dibutuhkan sedikitnya 41 detik dan bukan 15 detik untuk
mencapai pintu utama. Kesaksian wanita yang melihat dari apartemen di seberang
TKP pun diragukan setelah juri no. 9 menemukan indikasi bahwa wanita tersebut
adalah pengguna kacamata aktif. Sehingga sangat diragukan jika wanita tersebut,
pada malam pembunuhan, dapat melihat pelaku pembunuhan dengan pasti dari jarak
yang cukup jauh tanpa menggunakan kacamata.
Juri no. 3 dan 4 yang mendukung putusan bersalah,
mempertanyakan sekaligus meragukan pengakuan terdakwa tentang kepergiannya ke
bioskop sejak pukul 23.30 dan baru kembali ke apartemen pada pukul 03.10 pagi
sebagai alibi atas tuduhan pembunuhan. Kedua juri tersebut memperkuat
argumentasi mereka dengan fakta persidangan yang menyatakan bahwa terdakwa
bahkan tidak dapat mengingat para tokoh dan alur cerita dari film yang dia
tonton. Sekali lagi, dengan menggunakan pengujian kecil tentang kemampuan juri
no. 4 dalam mengingat hal-hal yang dilakukan pada beberapa malam sebelumnya,
juri no. 8 dapat menunjukan bahwa sangat wajar bagi seorang anak muda yang baru
saja menemukan ayahnya terbunuh, tidak dapat mengingat tentang film yang baru
saja dia tonton ketika diinterogasi oleh para penyidik kepolisian.

Diskusi dan silang pendapat yang dibumbui oleh sejumlah perdebatan berhasil mengubah posisi hasil pemungutan suara. Hasil voting secara perlahan berubah dari 11-1, 9-3 dan 8-4 untuk keputusan bersalah, menjadi 6-6 untuk hasil seri, sebelum kemudian berubah menjadi 8-4, 9-3 dan 11-1 untuk keputusan tidak bersalah. Juri no. 3 sebagai satu-satunya juri yang masih berpendapat terdakwa pantas dijatuhi hukuman, secara emosional mengubah pendapatnya menjadi tidak bersalah karena menyadari bahwa keyakinannya pada putusan bersalah hanya dilandasi oleh keraguan yang tidak beralasan, pertimbangan emosional tanpa bukti, unreasonable doubt. Akhirnya, kedua belas juri kembali ke ruangan persidangan dengan keputusan bulat, terdakwa tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman mati.
Bagi para penegak hukum, konsep reasonable doubt vs unreasonable doubt yang disampaikan melalui
film 12 Angry Men dapat menjadi contoh positif dalam setiap pengambilan
keputusan. Seorang terdakwa layak untuk diragukan kesalahannya (reasonable doubt) jika tidak didukung
oleh bukti-bukti yang meyakinkan (undisputed
evidences). Sebaliknya, ketika fakta persidangan disajikan dengan begitu
jelas dan meyakinkan untuk menggiring terdakwa untuk dihukum, maka tidak
beralasan untuk meragukan kesalahan terdakwa (unreasonable doubt). Bagi para akademisi, reasonable doubt dalam bentuk keraguan akan sebuah teori atau
hipotesis (tentunya dengan tujuan positif) harus dimiliki agar sebuah teori atau
hipotesis tidak serta merta diterima tanpa terlebih dahulu diuji atau dianalisis.
No comments:
Post a Comment