Thursday, 27 February 2014

12 Angry Men



Jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi pembuatan film masa kini, 12 Angry Men tentunya tidak dapat disejajarkan dengan kualitas film saat ini yang sudah berada pada tahapan introduksi teknologi tingkat tinggi. Berbeda jauh dengan film era tahun 2000-an yang sudah mengusung teknologi High Definition dan tampilan 3 dimensi atau 3D, film yang dibuat pada tahun 1957 tersebut masih bertema hitam putih dengan dukungan teknologi yang tergolong “biasa saja”. Bahkan hampir sebagian besar adegan yang berlangsung dalam film tersebut hanya dilakukan di dalam sebuah ruangan. Namun kesederhanaan tersebut tidak menjadikan 12 Angry Men sebagai sebuah film yang biasa-biasa saja. Sebaliknya, film yang menampilkan 12 tokoh utama tersebut justru menuai sejumlah penghargaan di bidang perfilman dan meninggalkan sejumlah legacy yang bernilai bagi dunia perfilman saat ini. Pertanyaannya, apa yang menjadi kekuatan atau keunggulan dari film tersebut??
12 Angry Men mengisahkan tentang 12 orang juri yang ditugaskan oleh hakim untuk mengambil keputusan atas sebuah kasus pembunuhan berencana. Dalam persidangan tersebut, seorang anak laki-laki  berumur 18 tahun didakwa membunuh ayah kandungnya dan oleh pengadilan telah dituntut dengan hukuman mati. Kedua belas juri tersebut selanjutnya dikumpulkan dalam sebuah ruangan untuk mengambil keputusan, apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah. Keputusan juri diwajibkan untuk diputuskan berdasarkan kesepakatan bulat. Dengan demikian hanya ada dua kemungkinan, 12 juri yang sepakat atas keputusan bersalah dan berakhir dengan pemberian hukuman mati di kursi listrik atau 12 juri yang sepakat atas keputusan tidak bersalah dan membebaskan terdakwa.
Kekuatan utama dari film bergenre legal drama ini terletak pada alur cerita dan dialog antar tokoh yang mampu membawa penonton untuk ikut menganalisis berbagai argumentasi dan pendapat yang dijelaskan oleh masing-masing tokoh. Hal menarik lainnya adalah identitas kedua belas juri sama sekali tidak disebutkan didalam alur cerita, sehingga penonton diajak untuk mengenali karakter tokoh melalui dialog yang dilontarkan oleh masing-masing peran. Hanya dua tokoh yang kemudian memperkenalkan identitas mereka pada akhir film, yaitu Mr. Davis (juri nomor 8) dan Mr. McCardle (juri nomor 9). Satu-satunya identitas yang diberikan tentang masing-masing tokoh adalah nomor urut juri 1-12 yang diberikan oleh pengadilan.
Konflik di dalam film tersebut dimulai ketika para juri memutuskan untuk melakukan voting untuk menentukan keputusan apakah terdakwa harus dinyatakan bersalah atau tidak. Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa 11 juri sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati kepada terdakwa dan hanya satu orang juri, yakni juri no. 8, yang memilih opsi tidak bersalah. Juri no. 8 berpendapat bahwa tidak semestinya penentuan keputusan bersalah bagi terdakwa hanya ditentukan oleh pemungutan suara tanpa terlebih dahulu dilakukan diskusi terkait fakta-fakta persidangan.

Henry Fonda
Disinilah tokoh yang diperankan oleh Henry Fonda tersebut memperkenalkan konsep tentang reasonable doubt yang berlaku dalam konteks hukum khususnya di dalam dunia peradilan Amerika Serikat. Dalam sebuah dialognya di dalam film tersebut, juri no. 8 berkata bahwa “No jury can declare a man guilty unless it’s sure”. Reasonable doubt adalah alasan kenapa juri no. 8 memutuskan untuk memilih keputusan tidak bersalah. Saat tidak yakin apakah terdakwa bersalah atau tidak, dia memutuskan untuk tidak menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Salah satu hal yang mendukung keraguannya adalah ketidakyakinannya atas fakta persidangan yang menyatakan bahwa pisau yang digunakan oleh terdakwa untuk membunuh korban adalah pisau dengan ukiran unik yang tidak mungkin dimiliki oleh orang lain. Kenyataanya, satu malam sebelum pelaksanaan persidangan pembacaan putusan, juri no. 8 berhasil membeli pisau dengan bentuk dan ukuran yang sama dengan barang bukti, dari sebuah toko yang berada tidak jauh dari TKP dengan harga $6.
Keraguan yang dimiliki oleh juri no. 8 berhasil mempengaruhi pendapat juri no. 9 yang kemudian mengubah keputusannya menjadi “tidak bersalah” karena merasakan hal yang sama, keraguan untuk memberikan keputusan “bersalah”. Pendapat tidak bersalah kembali ditentang oleh kelompok pro keputusan bersalah yang didominasi oleh juri no. 3, juri no. 4 dan juri no. 10, yang mencoba menjelaskan kembali berbagai bukti yang sudah diungkapkan didalam pengadilan, khususnya tentang dua saksi utama yang dihadirkan di persidangan dan alibi terdakwa yang mengaku sedang berada di bioskop ketika peristiwa pembunuhan berlangsung.
Pada saat pembunuhan dilakukan pada jam 12 malam lewat 10 menit, seorang pria tua yang tinggal di lantai bawah apartemen yang sama dengan TKP mendengar pertengkaran dan seseorang yang berteriak “I am going to kill you”. Tidak lama setelah mendengar suara tubuh manusia yang jatuh di lantai apartemen, pria tua tersebut lantas bergegas menuju pintu apartemen untuk melihat apa yang terjadi. Saat itulah dia melihat terdakwa sedang berlari menuruni tangga dan keluar dari apartemen. Pria tua tersebut meyakini bahwa dia membutuhkan waktu 15 detik untuk mencapai pintu apartemennya setelah mendengar suara tubuh yang terjatuh. Disaat yang sama, seorang wanita yang tinggal di seberang apartemen melihat kejadian pembunuhan tersebut. Meskipun terhalang 6 buah gerbong kereta yang melintas diantara apartemen wanita itu dengan apartemen TKP, perempuan tersebut yakin bahwa dia bisa melihat peristiwa pembunuhan melalui jendela dua gerbong terakhir dari kereta yang melintas.
Bagi juri no. 8 kedua kesaksian itu justru semakin menguatkan keraguannya bahwa terdakwa bersalah. Dia meragukan kemampuan seorang pria tua untuk mendengar pertengkaran dan teriakan terdakwa sementara disaat yang sama sedang melintas 6 gerbong kereta yang menimbulkan suara bising. Setelah dilakukan simulasi berpindahnya pria tua tersebut dari tempat tidurnya ke pintu utama, ditemukan bahwa dibutuhkan sedikitnya 41 detik dan bukan 15 detik untuk mencapai pintu utama. Kesaksian wanita yang melihat dari apartemen di seberang TKP pun diragukan setelah juri no. 9 menemukan indikasi bahwa wanita tersebut adalah pengguna kacamata aktif. Sehingga sangat diragukan jika wanita tersebut, pada malam pembunuhan, dapat melihat pelaku pembunuhan dengan pasti dari jarak yang cukup jauh tanpa menggunakan kacamata.
Juri no. 3 dan 4 yang mendukung putusan bersalah, mempertanyakan sekaligus meragukan pengakuan terdakwa tentang kepergiannya ke bioskop sejak pukul 23.30 dan baru kembali ke apartemen pada pukul 03.10 pagi sebagai alibi atas tuduhan pembunuhan. Kedua juri tersebut memperkuat argumentasi mereka dengan fakta persidangan yang menyatakan bahwa terdakwa bahkan tidak dapat mengingat para tokoh dan alur cerita dari film yang dia tonton. Sekali lagi, dengan menggunakan pengujian kecil tentang kemampuan juri no. 4 dalam mengingat hal-hal yang dilakukan pada beberapa malam sebelumnya, juri no. 8 dapat menunjukan bahwa sangat wajar bagi seorang anak muda yang baru saja menemukan ayahnya terbunuh, tidak dapat mengingat tentang film yang baru saja dia tonton ketika diinterogasi oleh para penyidik kepolisian.


Diskusi dan silang pendapat yang dibumbui oleh sejumlah perdebatan berhasil mengubah posisi hasil pemungutan suara. Hasil voting secara perlahan berubah dari 11-1, 9-3 dan 8-4 untuk keputusan bersalah, menjadi 6-6 untuk hasil seri, sebelum kemudian berubah menjadi 8-4, 9-3 dan 11-1 untuk keputusan tidak bersalah. Juri no. 3 sebagai satu-satunya juri yang masih berpendapat terdakwa pantas dijatuhi hukuman, secara emosional mengubah pendapatnya menjadi tidak bersalah karena menyadari bahwa keyakinannya pada putusan bersalah hanya dilandasi oleh keraguan yang tidak beralasan, pertimbangan emosional tanpa bukti, unreasonable doubt. Akhirnya, kedua belas juri kembali ke ruangan persidangan dengan keputusan bulat, terdakwa tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman mati.
Bagi para penegak hukum, konsep reasonable doubt vs unreasonable doubt yang disampaikan melalui film 12 Angry Men dapat menjadi contoh positif dalam setiap pengambilan keputusan. Seorang terdakwa layak untuk diragukan kesalahannya (reasonable doubt) jika tidak didukung oleh bukti-bukti yang meyakinkan (undisputed evidences). Sebaliknya, ketika fakta persidangan disajikan dengan begitu jelas dan meyakinkan untuk menggiring terdakwa untuk dihukum, maka tidak beralasan untuk meragukan kesalahan terdakwa (unreasonable doubt). Bagi para akademisi, reasonable doubt dalam bentuk keraguan akan sebuah teori atau hipotesis (tentunya dengan tujuan positif) harus dimiliki agar sebuah teori atau hipotesis tidak serta merta diterima tanpa terlebih dahulu diuji atau dianalisis.

No comments:

Post a Comment