Adakah yang tahu kemana ceria pergi?
Rasanya baru kemarin dia menyapa.
Adakah yang tahu kemana semangat menghilang?
Masih terasa gejolaknya yang menghentak raga untuk terus bergerak.
Kabur..
Hilang..
Seakan pandangan kehilangan fokus..
Kaki mendadak bingung untuk melangkah..
Lantas diri baru teringat..
Akan hati yang telah lama hancur..
---
Dimana ini? Kenapa tidak ada cahaya?
Pertanyaan itu terus diteriakan oleh Dinda di dalam hatinya. Susah rasanya untuk menggerakan mulutnya. Seakan telah lama terkunci, sehingga tak mampu untuk dibuka, apalagi berteriak. Udara dingin bertiup seketika. Menerpa wajah. Membelai kulit. Membuat wanita bermata indah tersebut spontan mengatup kelopak matanya dan mendekap tubuh dengan tangan. Menarik tubuhnya ke pojok ruangan. Ruangan yang sama sekali tak diketahui bentuknya.
"Dindaa..dimana kamu?", sebuah suara yang sangat dia kenal tiba-tiba terdengar memanggil.
"Bram..kau kah itu?"
Hening seketika begitu Dinda selesai bersuara. Menyisakan dirinya dengan seorang kawan yang sangat tidak diharapkan kedatangannya. Ketakutan.
Perlahan terdengar langkah kaki yang berjalan mendekat. Arah kedatangannya sangat jelas. Bergerak lambat menuju tempat dimana gadis itu meringkuk ketakutan. Semakin dekat suara langkah kaki tersebut, semakin tampak sesosok bayangan yang mendekat. Dinda mengenali sosok itu.
"Bram..jangan bercanda kamu. Ngga lucu!"
Seiring kemunculan wajahnya dihadapan Dinda, pria itu lantas tersenyum dan bersujud dihadapannya.
"Aku sangat mencintaimu..aku peduli akan bahagiamu"... namun senyum yang menghiasi wajah pria pujaan hatinya tersebut kemudian berubah menjadi beringas. Bram menarik Dinda dengan kedua tangannya, mencengkeram tubuh gadis itu dengan tega. Tubuh Dinda diseret diatas lantai berlabur semen kasar. Menghasilkan rasa perih yang disertai dengan teriakan memohon ampun.
"Bram hentikan, kamu menyakitiku"
"Diam kamu. kamu tidak berhak ada disini. Kamu harus keluar dari rumah ini. Disini bukan tempatmu. Kamu hanya mempermalukanku. Mencintaimu hanya akan membuatku susah. Pergi kamu..."
"Braamm...tolong lepaskaan akuu...."
---
Hujan tiba-tiba turun. Rintik pelannya membubarkan sekumpulan burung gereja yang sedari tadi bertengger di sebuah dahan pohon. Lucu melihat tingkah burung-burung tersebut. Pagi hari yang seharusnya menjadi waktu dimana mereka berkumpul dan bercicit cuit dengan kawanan burung lainnya, sontak berubah karena turunnya rintik hujan. Dinda tersenyum dari kamarnya. Dari atas tempat tidurnya.
Bahagianya mereka. Bisa terbang lepas kemana pun mereka suka. Tanpa harus memikirkan duka dan sedih.
Setelah sejenak menutup mata, Dinda pun menyandarkan punggungnya ke dinding. Mengambil pena, dan kemudian menulis.
Dear Bram,
Apa kabar pemilik hatiku?
Semalam mimpi itu datang lagi. Mimpi yang sama yang selalu ku ceritakan kepadamu. Aku terbangun dengan keringat disekujur tubuhku. Seakan baru menyelesaikan sebuah perlombaan lari, tubuhku lelah dan kehilangan tenaga. Mimpi itu menguras semua energiku. Aku lelah Bram jika setiap malam harus mengalaminya. Hidupku seolah melangkah mundur. Tak sanggup raga ini untuk berjalan menyambut masa depan. Hati dan pikiranku masih tertahan di tempat itu. Tertambat kuat tanpa pernah bisa terlepas.
Seandainya kamu disini...aah..seandainya..
Kenapa pergi yang kamu pilih? Tidak layakkah diriku untuk menjadi sebuah pilihan?
Uji aku jika ragu yang membayangi hatimu..Bukankah nyawa adalah satu-satunya hal yang belum ku berikan kepadamu? Hatiku bahkan sudah tidak lagi bersamaku..
Aku berdebat dengan Tuhan. Tak henti
menangis. Tak beranjak dari tempat tidur. Hanya air putih yang mengisi perut. Seakan
dipaksa berpuasa oleh nafsu makan yang tak kunjung ada. Rasanya semua
pedih, kesal, marah, sakit hati, menghambur keluar, menghabiskan semua
energi yang ku punya.
Bertanya jawab aku dengan Tuhan, seperti teman yang memprotes
teman nya. Semakin Tuhan menenangkan dengan perkataanNya semakin aku
memaki dan berontak. Terus melawan dan menolak untuk menerima.
Sampai akhirnya aku menyerah didalam kelelahan dan kelaparan.
Menyerah..itulah jalan keluar yang kuperoleh setelah tidak ada lagi yang
bisa ku pertahankan. Tidak ada lagi argumen yang bisa ku sampaikan
kepada Dia. Tidak ada lagi yang bisa ku perjuangkan. Aku bahkan tidak
menyadari bahwa aku memperjuangkan sesuatu yang bahkan tidak pernah ada.
Aku berdebat dengan Tuhan untuk mempertahankan kehampaan. Kekosongan
jiwa.
Aku bangkit dengan kelelahan yang amat sangat. Dalam
kondisi menyerah dalam arti kata sebenarnya. Ditunjukan oleh Tuhan
sebuah kenyataan yang tidak bisa aku tolak melainkan menerima nya adalah
satu-satunya pilihan: Tidak ada yang akan menolong ku selain diri ku
sendiri.
Seperti orang yang dilahirkan kembali. Bangkit dengan kekosongan yang siap untuk kembali diisi.
Kalau
memang ini sudah menjadi pilihanmu, inilah pilihan hidupmu, aku
mengalah untuk menerimanya. Tak mudah memang buat ku. Meskipun harus
melawan amarah yang terpendam, amarah yang tak bisa ku salurkan, aku
terima keputusan mu.
Bram...tidak ada orang yang paling ku sayang dan ku cinta di muka bumi ini melebihi sayang dan cinta ku padamu..
Meraih bahagiamu,, yang lebih penting bagi ku.
----------------terima kasih untuk inspirasimu, Dante Alighieri----------
----------------terima kasih untuk cita rasamu, Buya Hamka--------------
niceee...!!!
ReplyDeletebikin buku bro :)
Terima kasih bro Leo.. :)
ReplyDelete