Raga hadir sebagai bagian terkuat
dari keberadaan manusia. Pelaku setiap aktivitas kehidupan dalam kesehariannya.
Kokoh dalam pembawaannya, logis dalam pemikirannya. Bergelora semangat dan daya
juangnya. Tidak ada hal yang tidak bisa diraih, tidak ada angan yang tidak bisa
dicapai. Menghamburkan optimisme setiap kali bertutur. Memancarkan petuah
setiap kali berkata. Bertindak di dalam keteraturan, namun terkadang berlebihan
dalam membebani dirinya sendiri.
Jiwa yang nampaknya rapuh justru
datang dengan semangatnya. Menjadi penghibur dikala sendu. Menjadi pengajar ketika
berjumpa dengan gelombang permasalahan. Menuntun didalam kesabaran. Senyum sang
raga adalah inginnya. Kepuasan adalah ketika tolong dapat dia bagikan. Datang
dalam kesederhanaan dengan membawa sejumlah pemikiran yang terbalut modernitas. Tangisannya adalah
sumber kekuatan yang menopang hatinya dikala lemah.
Keduanya adalah satu didalam
manusia. Kombinasi utuh yang tidak dapat dipisahkan. Bagaimana mungkin manusia
ada jika raga hadir tanpa jiwa? Bagaimana mungkin dapat disebut manusia jika
hanya jiwa yang melayang dalam ketidakpastian raga? Jiwa dan raga adalah simbol
percintaan sejati yang membuahi eksistensi manusia. Keduanya bercinta didalam
ikatan semesta alam yang telah mentakdirkan mereka dalam kebersamaan.
Bersahabat dan bergaul tanpa pernah terpisahkan, menjadi tontonan keseharian
sang Bumi.
Dan langit sementara menampilkan
panorama kegilaan antara dua insan. Tak henti-hentinya raga memuja sang jiwa
dengan lantunan melodi surgawi. Pengagungan yang setinggi-tingginya dia berikan
kepada belahan jiwanya. Puji-pujian antara kedua mempelai hati membawa
kedamaian bagi manusia yang dituntunnya.
Namun apa jadinya ketika jiwa
diambil dari raga?
Manusia menjadi mayat hidup yang
berkoneksi dengan sekitarnya dalam keragu-raguan. Tidak ada lagi rasa yang
mampu dikecap. Tidak ada lagi mimpi yang mampu dipikir. Tidak ada lagi harmoni
yang mampu didengar. Kematian yang tadinya suram seakan berubah menjadi kado
terindah yang layak untuk ditunggu.
Lakon dunia yang semakin dekat
dengan episode terakhirnya ini telah mensintesa banyak manusia beraga tanpa
jiwa.
Haruskah sebuah raga ditambahkan
lagi ke dalam pusaran berujung hampa itu hanya karena alasan “bagiku itu sudah
lebih dari cukup”??
Pastikan jiwa dan ragamu tetap
saling bercumbu dalam cinta sejati agar indahnya hidup tetap mampu direngkuh.
No comments:
Post a Comment