Tuesday, 19 March 2013

Sajak Raga Yang Menjiwa


Raga hadir sebagai bagian terkuat dari keberadaan manusia. Pelaku setiap aktivitas kehidupan dalam kesehariannya. Kokoh dalam pembawaannya, logis dalam pemikirannya. Bergelora semangat dan daya juangnya. Tidak ada hal yang tidak bisa diraih, tidak ada angan yang tidak bisa dicapai. Menghamburkan optimisme setiap kali bertutur. Memancarkan petuah setiap kali berkata. Bertindak di dalam keteraturan, namun terkadang berlebihan dalam membebani dirinya sendiri.

Jiwa yang nampaknya rapuh justru datang dengan semangatnya. Menjadi penghibur dikala sendu. Menjadi pengajar ketika berjumpa dengan gelombang permasalahan. Menuntun didalam kesabaran. Senyum sang raga adalah inginnya. Kepuasan adalah ketika tolong dapat dia bagikan. Datang dalam kesederhanaan dengan membawa sejumlah pemikiran yang  terbalut modernitas. Tangisannya adalah sumber kekuatan yang menopang hatinya dikala lemah.

Keduanya adalah satu didalam manusia. Kombinasi utuh yang tidak dapat dipisahkan. Bagaimana mungkin manusia ada jika raga hadir tanpa jiwa? Bagaimana mungkin dapat disebut manusia jika hanya jiwa yang melayang dalam ketidakpastian raga? Jiwa dan raga adalah simbol percintaan sejati yang membuahi eksistensi manusia. Keduanya bercinta didalam ikatan semesta alam yang telah mentakdirkan mereka dalam kebersamaan. Bersahabat dan bergaul tanpa pernah terpisahkan, menjadi tontonan keseharian sang Bumi.

Dan langit sementara menampilkan panorama kegilaan antara dua insan. Tak henti-hentinya raga memuja sang jiwa dengan lantunan melodi surgawi. Pengagungan yang setinggi-tingginya dia berikan kepada belahan jiwanya. Puji-pujian antara kedua mempelai hati membawa kedamaian bagi manusia yang dituntunnya.

Namun apa jadinya ketika jiwa diambil dari raga?


Manusia menjadi mayat hidup yang berkoneksi dengan sekitarnya dalam keragu-raguan. Tidak ada lagi rasa yang mampu dikecap. Tidak ada lagi mimpi yang mampu dipikir. Tidak ada lagi harmoni yang mampu didengar. Kematian yang tadinya suram seakan berubah menjadi kado terindah yang layak untuk ditunggu.

Lakon dunia yang semakin dekat dengan episode terakhirnya ini telah mensintesa banyak manusia beraga tanpa jiwa.

Haruskah sebuah raga ditambahkan lagi ke dalam pusaran berujung hampa itu hanya karena alasan “bagiku itu sudah lebih dari cukup”??

Pastikan jiwa dan ragamu tetap saling bercumbu dalam cinta sejati agar indahnya hidup tetap mampu direngkuh.

No comments:

Post a Comment