Friday, 13 September 2013

Analisis Dampak Pertumbuhan Ekonomi Cina Terhadap Perekonomian Indonesia (Model Mundell Fleming)

Kondisi perekonomian Republik Rakyat Cina (RRC) yang cenderung berada pada level menggembirakan membuat para ekonom memprediksi bahwa pemerintah RRC diperkirakan akan tetap mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan pada angka 7,5% (www.bisnis.com tanggal 3 Desember 2012). Sebanyak 9 dari 16 analis yang disurvei Bloomberg News pada 22-30 November 2012 memperkirakan pemerintah Cina tidak akan merubah target pertumbuhan ekonomi tahun 2013. Sementara 6 analis lainnya melihat adanya harapan penurunan hingga 7%, dan 1 analis melihat akan ada peningkatan hingga 8%. Sementara itu, data per 1 Desember 2012 menunjukkan indeks manufaktur naik ke level tertinggi dalam 7 bulan terakhir pada bulan November, menambah bukti adanya pertumbuhan kembali menguat dari level terendah dalam 3 tahun.

Sebagai salah satu mitra dagang Indonesia, kebijakan ekonomi negara Cina tentunya akan memberikan dampak terhadap hubungan perdagangan kedua negara. Gregory Mankiw dalam bukunya yang berjudul Macroeconomic menyatakan bahwa, kebijakan ekonomi sebuah negara akan mempengaruhi kondisi perekonomian negara yang lain. Selanjutnya, akan diurai dampak adanya kebijakan pemerintah Cina untuk menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi 7,5% terhadap kondisi perekonomian dalam negeri di Indonesia dengan menggunakan pendekatan analisis makroekonomi. Selain teori-teori makroekonomi dalam Macroeconomic, dua model ekonomi yang akan digunakan untuk membantu analisis dampak pertumbuhan ekonomi Cina terhadap perekonomian Indonesia adalah Model Perekonomian Terbuka dan Model Mundell-Fleming yang merupakan pengembangan dari Model IS-LM dan Model Perekonomian Terbuka.

Adanya liberalisasi perdagangan antara Indonesia dan Cina sebagai akibat dari penandatangan perjanjian Asean China Free Trade Agreement pada tahun 2007, berdampak pada peningkatan volume perdagangan antar kedua negara. Data perdagangan yang diterbitkan oleh Kementerian Perdagangan dalam website resminya memperlihatkan bahwa sejak tahun 2007 s.d. 2011, jumlah ekspor non migas dari Indonesia ke Cina telah menempati posisi pertama dari total ekspor ke negara-negara lain dengan total peningkatan sebesar 34,23% menjadi $21,6 Miliar di tahun 2011. Sementara sampai dengan bulan September 2012, total ekspor non migas Indonesia ke Cina telah menyentuh angka $14 Miliar. Disisi lain, total impor non migas Indonesia dari Cina pada tahun 2011 berjumlah $24,5 Miliar atau naik 29,71% dari tahun 2007. Sedangkan sampai dengan September 2012, Indonesia telah membukukan total impor non migas dari Cina sebanyak $21,4 Miliar. Statistik diatas menggambarkan adanya defisit perdagangan antara Indonesia dan Cina dikarenakan jumlah impor barang dari Cina ke Indonesia melebihi jumlah barang yang diekspor dari Indonesia ke Cina. Perjanjian perdagangan bebas antara Indonesia dan Cina memang berperan bagi peningkatan arus perdagangan Indonesia ke Cina. Namun peningkatan tersebut tidak sebanding dengan kenaikan nilai arus barang dari Cina yang masuk ke Indonesia.

Komponen pertumbuhan ekonomi sebuah negara (GDP atau Y) terdiri dari konsumsi masyarakat (C), investasi (I), belanja pemerintah (G) dan ekspor netto (NX) yang merupakan selisih dari ekspor (X) dan impor (M). Sebagai salah satu raksasa perekonomian dunia setelah Amerika Serikat, saat ini Cina dapat dikatakan memiliki kekuatan ekonomi yang hampir merata di masing-masing komponen pertumbuhan ekonomi. Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia, Cina memiliki potensi pasar domestik yang cukup besar untuk meningkatkan komponen konsumsinya. Tingginya pertumbuhan ekonomi Cina juga ditopang oleh komponen investasi dan surplus neraca perdagangan yang cukup besar. Salah satu indikator dari tingginya investasi dan besarnya potensi ekspor Cina adalah adanya peningkatan defisit perdagangan antara Indonesia dan Cina. Selama 8 bulan pertama pada tahun 2012, defisit perdagangan Indonesia-Cina tercatat sebesar US$5 Miliar, lebih tinggi dari defisit perdagangan pada periode yang sama di tahun lalu yang berada pada angka US$3 Miliar. Selain itu, kuatnya dukungan pemerintah terhadap perekonomian Cina juga digambarkan dengan struktur APBN yang sangat mendukung penciptaan iklim investasi di dalam negeri yang sehat.

Kondisi ini menunjukan bahwa ketika pemerintah Cina telah menetapkan untuk mejaga pertumbuhan ekonomi mereka agar tetap tinggi di tahun 2013 pada level 7,5% , maka pemerintah Cina tentunya akan berusaha untuk menggerakan setiap komponen pertumbuhan ekonominya untuk dapat mencapai bahkan melampaui target pertumbuhan tersebut. Fakta bahwa pasar perdagangan Cina tidak hanya berada di dalam negeri tapi telah menjangkau seluruh dunia termasuk pasar ASEAN dan Indonesia, menjadikan setiap negara yang menjadi mitra dagang Cina untuk perlu mengantisipasi dampak positif dan negatif dari kebijakan pemerintah Cina ini.

Ada dua faktor penting yang dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari kebijakan pertumbuhan ekonomi pemerintah Cina. Faktor pertama adalah Neraca Perdagangan (Trade Balance). Nama lain untuk Neraca Perdagangan adalah ekspor neto karena menunjukan bagaimana perdagangan barang dan jasa melenceng dari tolak ukur kesamaan ekspor dan impor (Mankiw, 2007). Ekspor neto sendiri pada dasarnya adalah selisih antara ekspor dan impor. Ketika nilai ekspor dari sebuah negara lebih besar dari nilai impornya dalam suatu periode perekonomian, maka negara tersebut dikatakan mengalami surplus perdagangan. Sebaliknya, ketika sebuah negara berada pada kondisi dimana nilai impor lebih besar dari nilai ekspornya, maka negara tersebut dikatakan mengalami defisit neraca perdagangan. Meskipun Cina memiliki jumlah penduduk cukup besar (lebih dari 1,3 Miliar orang), namun pasar perdagangan Cina sesungguhnya tersebar di hampir di seluruh belahan dunia. Disisi lain, Cina termasuk salah satu negara yang cukup efisien dalam melaksanakan kegiatan produksinya karena mampu untuk memproduksi barang dengan harga jual yang sangat murah bila dibandingkan dengan barang yang sama yang diproduksi oleh negara lain. Biaya input produksi yang cukup murah ditambah dengan jumlah produksi yang cukup besar menjadi faktor pendukung bagi Cina untuk mampu memproduksi barang dengan harga yang sangat kompetitif. Dukungan pasar yang sangat luas dan produk perekonomian yang cukup kompetitif menjadikan Cina mampu untuk menggenjot nilai ekspornya. Dampaknya, setiap tahunnya Cina hampir selalu mencatatkan surplus perdagangan dengan mitra dagangnya (salah satunya adalah Indonesia).

Faktor kedua adalah Arus Modal Keluar Neto (Net Foreign Investment). Arus Modal Keluar Neto adalah selisih antara jumlah modal yang dipinjami oleh sebuah negara ke luar negeri dengan jumlah modal yang dipinjamkan oleh negara asing ke dalam negeri. Mankiw menjelaskan bahwa dalam perekonomian terbuka, Neraca Perdagangan (NX) adalah sama dengan Arus Modal Keluar Neto (S-I). Jadi disaat sebuah negara mengalami surplus neraca perdagangan dimana negara tersebut mampu mengekspor lebih banyak, pada saat yang sama negara tersebut pun bertindak sebagai negara donor di pasar uang dunia. Tingkat pertumbuhan ekonomi Cina yang cukup tinggi selama tahun ke tahun tentunya akan meningkatkan jumlah ketersediaan modal yang ada didalam negeri. Salah satu indikatornya adalah tingginya jumlah tabungan (S) di dalam negeri. Pemerintah Cina akan merespon tingginya jumlah modal di dalam negeri dengan cara mengivestasikan kelebihan dana tersebut ke negara-negara lain yang membutuhkan suntikan dana melalui mekanisme investasi. Kondisi inilah yang akan meningkatkan nilai Arus Keluar Neto negara Cina.

Kedua faktor ini menunjukan bahwa upaya pemerintah Cina untuk mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi akan berimbas kepada perekonomian negara-negara lain dalam perdagangan dunia. Baik melalui masuknya komoditas perdagangan Cina ke pasar negara asing, maupun mengalirnya modal dari Cina ke negara tujuan investasi. Indonesia sebagai mitra dagang Cina, baik secara bilateral (Indonesia-Cina) maupun secara regional (ASEAN-Cina), pun harus mengantisipasi kebijakan pertumbuhan ekonomi Cina di tahun 2013. Harry Bowo dalam penelitiannya pada tahun 2012 yang berjudul Dampak Penerapan Asean-Cina FTA terhadap Nilai Perdagangan Indonesia: Studi Beberapa Komoditas Terpilih menyimpulkan bahwa ada hubungan positif antara pemberlakuan Asean-Cina FTA terhadap nilai perdagangan kedua negara. Setelah pemberlakuan FTA, nilai ekspor-impor kedua negara mengalami peningkatan yang lebih besar bila dibandingkan dengan peningkatan ekspor-impor sebelum diberlakukan FTA. Tapi data dari Kementerian Perdagangan (sebagaimana telah dibahas pada bagian awal) menunjukan bahwa secara country to country pertumbuhan volume dan nilai perdagangan Indonesia tidak seimbang dengan pertumbuhan volumen dan nilai perdagangan Cina. Hasilnya, defisit perdagangan yang terus melebar antar kedua negara. Dampaknya, cadangan devisa Indonesia akan terus tergerus untuk membiayai defisit perdagangan tersebut.

Mankiw (2007) dalam bukunya menjelaskan bahwa dalam Model Perekonomian Terbuka, kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah asing (dalam kasus ini Cina) akan berdampak pada perekonomian domestik negara lainnya (dalam kasus ini Indonesia. Dampak tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini.



Diasumsikan bahwa salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah Cina untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 adalah dengan meningkatkan jumlah belanja pemerintah (G). Menurut Model Perekonomian Terbuka, ketika pemerintah Cina melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif (menaikan G) maka akan berdampak pada menurunnya jumlah tabungan dunia dan disaat yang sama menaikan tingkat bunga dunia. Kenaikan tingkat bunga dunia akan menyebabkan sebagian investasi keluar dari Indonesia untuk mengambil keuntungan atas kenaikan tingkat bunga dunia tersebut. Hasilnya, jumlah investasi akan berkurang sehingga meningkatkan nilai S-I dan menggeser kurva S-I ke kanan. Pergeseran kurva S-I mengakibatkan kenaikan surplus perdagangan dari NX1 ke NX2. Dengan kata lain, Model Perekonomian Terbuka dapat menunjukan bahwa kebijakan fiskal pemerintah Cina yang bersifat ekspansif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonominya dapat mendepresiasi nilai tukar rupiah di dalam negeri sehingga menurunkan kurs riil dari є1 ke є2. Namun dampak positifnya adalah secara total perdagangan, Indonesia dapat mengalami surplus perdagangan.

Pemerintah Cina tentunya tidak hanya memiliki pilihan untuk menambah jumlah belanja pemerintah (G) saja, pilihan lainnya adalah meningkatkan konsumsi (C) masyarakat, menambah investasi (I) dan meningkatkan ekspor netto (NX). Dalam kaitannya dengan perdagangan antara Indonesia-Cina, maka analisis akan lebih difokuskan kepada transaksi ekspor-impor antar kedua negara (Neraca Perdagangan). Selanjutnya untuk menambah ruang lingkup analisis, maka model yang digunakan adalah model Mundell Fleming dengan asumsi, arus perdagangan Indonesia dengan negara mitra lainnya adalah tetap, sehingga hanya kebijakan perdagangan dengan Cina yang dapat mempengaruhi pertumbuhan Neraca Perdagangan Indonesia. Premi resiko di Indonesia diasumsikan kecil atau mendekati nol karena rendahnya tingkat resiko investasi di Indonesia. Indikatornya adalah grade investasi Indonesia yang berada satu level di bawah investment grade dan rendahnya pergolakan politik di dalam negeri, khususnya di ibukota. Dampaknya, tingkat bunga di Indonesia (r) diasumsikan sama dengan tingkat bunga dunia (r*).

Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 sebesar 7,5%, maka pemerintah Cina akan mendorong pertumbuhan neraca perdagangannya dengan cara meningkatkan nilai ekspornya ke negara-negara mitra dagang, dimana Indonesia adalah salah satu dari negara-negara tersebut. Data Kementerian Perdagangan menunjukan bahwa sampai dengan akhir tahun 2012 masih terdapat defisit perdagangan antara Indonesia dan Cina, dan selisih negatif terhadap net ekspor tersebut diperirakan masih akan terjadi pada tahun 2013. Dengan demikian, upaya pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan ekspor akan menekan neraca perdagangan Indonesia dan menghasilkan NX yang negatif. Gambar 2.2 dibawah ini menunjukan dampak kebijakan perdagangan luar negeri ekspansif Cina terhadap perekonomian Indonesia.


Pendekatan IS-LM menunjukan bahwa pertumbuhan NX yang negatif akan menyebabkan kurva pengeluaran yang direncanakan pada kurva perpotongan keynessian akan bergerak ke bawah. Pergerakan ini akan menggeser kurva IS0 menjadi IS1 sehingga menjadikan nilai tukar rupiah terdepresiasi (nilai tukar riil turun dari є0 ke є1). Model Mundell Fleming menunjukan bahwa pergeseran kurva IS0 menjadi IS1 tidak berdampak pada kenaikan jumlah output Y (output tetap di Y0), namun mengakibatkan nilai tukar rupiah terdepresiasi.

Pemerintah dapat merespon kondisi ini (khususnya agar dapat menaikan jumlah output) dengan cara menerapkan kebijakan moneter ekspansif yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat menggeser kurva LM ke kanan dari LM0 ke LM1 dengan cara menambah jumlah uang beredar. Dengan asumsi tingkat harga tetap, maka kenaikan jumlah uang beredar (M) akan menaikan keseimbangan uang riil (M/P). Naiknya keseimbangan uang riil pada akhirnya akan menggeser kurva LM ke kanan dan menaikan jumlah output (Y). Namun, kenaikan jumlah output dari Y0 ke Y1 menyebabkan penurunan kurs riil ke level yang lebih rendah dari є1 ke є2. Terdepresiasinya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga barang di dalam negeri menjadi lebih murah sehingga membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke mitra dagangan di luar negeri. Peningkatan ekspor akan berdampak positif pada NX Indonesia sehingga kurva IS1 akan bergeser ke kanan. Pergerakan positif dari kurva IS ini akan menyebabkan nilai tukar rupiah kembali menguat ke posisi є3.

Model Mundell Fleming menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah Cina untuk meningkatkan perekonomiannya dari sisi perdagangan dengan Indonesia akan menyebabkan tingginya arus perdagangan dari Cina ke Indonesia (ekspor). Faktanya memang ini yang terjadi. Adanya perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara Indonesia dan Cina dan kebijakan pemerintah Cina untuk terus menggenjot pertumbuhan ekonomi negaranya telah menyebabkan defisit neraca perdagangan antara Indonesia dan Cina. Namun Model Mundell Fleming menunjukan bahwa dampaknya adalah penurunan nilai tukar rupiah, sedangkan output total secara keseluruhan cenderung berada dalam keadaan tetap. Sistem nilai tukar Indonesia yang menganut sistem managed floating exchange rate mengharuskan pemerintah merespon kondisi ini dalam rangka mengendalikan depresiasi nilai rupiah. Kebijakan moneter ekspansif dapat menjadi solusinya. Ketika pemerintah menambah jumlah uang beredar, maka Model Mundell Fleming menunjukan bahwa pasar akan berespon sehingga output perekonomian dapat ditingkatkan. Tidak berhenti sampai disitu, kebijakan moneter ini pun dapat berdampak di pasar barang melalui pergeseran ke kanan kurva IS untuk merespon depresiasi nilai tukar rupiah. Hasilnya, pergerakan rupiah dapat dikendalikan dan kembali mengalami penguatan (apresiasi).

Dari hasil analisis dampak pertumbuhan ekonomi Cina terhadap perekonomian Indonesia di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dan dalam rangka tetap mempertahankan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi, pemerintah Cina akan mengeluarkan kebijakan ekonomi untuk mendorong kenaikan tingkat konsumsi masyarakat (C), tingkat investasi (I), jumlah pengeluaran pemerintah (G) dan nilai ekspor neto (NX).

2. Sebagai salah satu dari mitra dagang Cina, kebijakan perekonomian Cina baik kebijakan fiskal maupun kebijakan perdagangan tentunya akan berdampak pada perkonomian Indonesia.

3. Model Perekonomian Terbuka memberikan gambaran bahwa kebijakan fiskal ekpansif dari pemerintah Cina akan berdampak positif pada peningkatan ekspor neto Indonesia.

4. Dalam analisis yang lebih luas, Model Mundell Fleming menunjukan bahwa tingginya arus perdagangan dari Cina akan mendepresiasi nilai tukar rupiah, namun tidak berdampak pada jumlah output perekonomian (Y) secara total. Dengan menggunakan instrumen kebijakan moneter ekspansif, pemerintah Indonesia dapat meningkatkan output perekonomian dan mengendalikan penurunan mata uang rupiah sebagai akibat dari kebijakan perdagangan Cina yang ekspansif.

Tuesday, 3 September 2013

Kredit Usaha Rakyat: Solusi Bagi UMKM, Strategis Bagi Pemerintah

Sektor swasta merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi khususnya dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan volume perdagangan, penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat, sekaligus sebagai sumber pendapatan negara (pajak) dalam rangka penyediaan barang/layanan publik. Bertumbuhnya sektor swasta merupakan pondasi atau syarat utama bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa secara berkelanjutan. Pemerintah dalam bersinergi dengan peran sektor swasta tersebut lebih menempatkan diri sebagai regulator yang bertugas untuk menciptakan dan memelihara iklim perdagangan dan investasi serta memfasilitasi tumbuhnya unit-unit bisnis baru melalui serangkaian program-program pembangunan.
Dalam memasuki era perdagangan bebas, pemerintah sangat menyadari bahwa private sector investment merupakan senjata pamungkas untuk membantu percepatan pertumbuhan ekonomi sekaligus menjamin kemampuan Indonesia untuk bersaing di kancah perdagangan internasional. Mengutip abstrak Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, “Pihak swasta akan diberikan peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja, sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator, dan katalisator”. Hal ini menunjukan kesadaran pemerintah bahwa tidak ada cara lain untuk melipatgandakan pertumbuhan ekonomi Indonesia, selain dengan meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam aktivitas perekonomian.
Dalam mencapai visi pembangunan tersebut, pemerintah dihadapkan dengan kondisi dimana sektor swasta di Indonesia lebih banyak didominasi oleh Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Meskipun pemerintah menghendaki masuknya investor-investor besar ke Indonesia, pemerintah tentunya tidak menginginkan adanya imbas negatif terhadap keberadaan UMKM di dalam negeri. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukan bahwa sampai tahun 2012, jumlah UMKM di Indonesia diperkirakan telah mencapai 56,5 juta unit atau sama dengan 99,99% dari total unit usaha. Meskipun statistik tersebut menunjukkan minimnya unit usaha yang tergolong skala besar di Indonesia (hanya berkisar 0,01% dari total unit usaha yang ada), namun tidak dapat dipungkiri bahwa UMKM telah menyerap hampir 97,16% total tenaga kerja Indonesia atau sama dengan 101,7 juta orang tenaga kerja. Selain itu, aktivitas ekonomi UMKM telah memberikan kontribusi senilai Rp2.121,3 Triliun atau sebesar 53,6% dari total Produk Domestik Bruto. Berbasis statistik potensi ekonomi yang dimiliki oleh UMKM, pemerintah pun menjadikan penguatan dan pengembangan UMKM sebagai bagian dari grand design pembangunan ekonomi Indonesia.
Namun, Kementerian Koperasi dan UKM pun mencatat bahwa hampir 95% dari total keseluruhan UMKM di Indonesia masih tergolong dalam usaha mikro atau usaha yang hanya memiliki aset maksimal senilai Rp50 Juta atau memiliki hasil penjualan (omset) tahunan maksimal Rp300 Juta. Artinya, permodalan merupakan permasalahan sekaligus kunci utama pengembangan sektor UMKM. Mengingat kinerja sektor swasta di Indonesia juga dipengaruhi oleh geliat UMKM, maka pemerintah dituntut agar dapat memberikan solusi bagi peningkatan supply permodalan bagi UMKM.
Berbicara tentang suntikan modal tentunya tidak lepas dari peran serta unit perbankan selaku salah satu sumber penyediaan kredit permodalan bagi unit usaha. Faktanya, berbagai program kredit usaha untuk investasi dan pengembangan bisnis telah disediakan oleh perbankan. Namun, kondisi riil di lapangan memperlihatkan bahwa sebagian besar unit UMKM yang mayoritas berkategori unit usaha mikro masih belum layak untuk memperoleh credit approval (nonbankable) yang salah satunya disebabkan oleh kesulitan penyediaan agunan.  Kabar baiknya adalah, dari sisi kelayakan usaha, unit-unit usaha tersebut sangat berpotensi untuk menghasilkan profit dan terus berkembang (feasible).

Sumber: http://dandelionconsulting.org
Untuk menjawab permasalahan tersebut, pada tanggal 5 November 2007,  Presiden telah meluncurkan program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan kredit/pembiayaan modal kerja dan investasi kepada UMKM yang bersifat feasible but not bankable dengan plafon sampai dengan Rp500 Juta. Perbedaan KUR dan fasilitas kredit lainnya adalah bahwa plafon kredit tersebut dijamin oleh Perusahaan Penjamin. Penjaminan tersebut merupakan solusi pemerintah untuk memberikan jaminan kepada bank agar dapat menyalurkan kredit kepada unit usaha yang potensial namun belum memenuhi kriteria penyediaan agunan maupun persyaratan pembiayaan lainnya.
Enam tahun setelah dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penyaluran KUR oleh perbankan telah menunjukan prestasi yang menggembirakan. Berdasarkan data Komite KUR, sejak November 2007 sampai dengan 31 Juni 2013, 7 (tujuh) bank nasional yang telah ditunjuk oleh pemerintah telah menyalurkan total KUR senilai Rp45,381 Triliun untuk mendanai aktivitas ekonomi 8.906.679 unit UMKM. Untuk tahun 2013, total KUR yang berhasil disalurkan sampai dengan 31 Juni 2013 adalah senilai Rp21,908 Triliun atau sama dengan 60,9% dari target penyaluran KUR yang ditetapkan pemerintah untuk tahun 2013 senilai Rp36 Triliun. Selain tingginya angka realisasi KUR, apresiasi positif UMKM terhadap eksistensi KUR juga ditandai dengan rendahnya tingkat Non Performing Loan (NPL) yang masih berada di bawah 5% (hingga Mei 2013, rata-rata NPL KUR adalah 4%).
Statistik diatas dapat menunjukan dua peran penting dari KUR. Pertama, KUR telah menjadi solusi bagi pengembangan UMKM. Cukup tingginya angka realisasi KUR merupakan bukti bahwa tujuan awal KUR sebagai alternatif penyediaan sumber permodalan UMKM telah tercapai. Kehadiran KUR dengan format penjaminan kredit oleh pemerintah telah meningkatkan gairah UMKM untuk memanfaatkan KUR dalam rangka pengembangan usaha. Bahkan pada tahun 2012, target penyaluran KUR senilai Rp30 Triliun berhasil terealisasi sebesar Rp30,230 Triliun. Sukses tahun 2012 diperkirakan akan kembali berulang pada tahun 2013 mengingat sampai dengan semester I 2013, perbankan telah berhasil menyalurkan 60,9% dari target penyaluran KUR yang ditetapkan. Statistik positif tersebut telah membuktikan bahwa KUR  sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya para pengusaha skala UMKM yang memiliki visi kewirausahaan yang kuat namun terkendala dengan akses pembiayaan. Di sisi lain, keberadaan KUR sebagai “dana pinjaman” dan bukannya “dana bantuan sosial” dapat menjadi stimulan positif bagi pengusaha skala UMKM untuk selalu berpikir kreatif dalam menjalankan usahanya karena adanya kewajiban untuk mengembalikan dana pinjaman. Rendahnya angka NPL yang berkisar 4% telah memperlihatkan keseriusan para debitur dalam menggunakan fasilitas kredit yang disediakan oleh pemerintah. Bandingkan rendahnya NPL KUR dengan banyaknya kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) yang disalurkan oleh sejumlah kementerian teknis. Tentunya hal ini dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa format penyaluran anggaran kepada unit UMKM dalam bentuk dana kredit lebih baik dibandingkan bentuk dana bansos karena dapat menumbuhkan semangat kreatif, kerja keras, dan tentunya semangat kewirausahaan.
Fakta kedua adalah KUR juga memiliki peran yang cukup strategis bagi pemerintah. Dalam kerangka pembanguan ekonomi Indonesia sebagaimana telah diuraikan di bagian awal, KUR memiliki posisi strategis bagi pemerintah dalam aspek penguatan UMKM selaku pilar utama pengembangan sektor swasta di Indonesia. Selain itu, KUR telah berkontribusi dalam usaha pemerintah untuk menyerap tenaga kerja, mengurangi angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan jumlah debitur KUR (UMKM) dan pertumbuhan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh debitur KUR selama 6 tahun kehadiran KUR di Indonesia merupakan bukti nyata kontribusi KUR dalam mendukung pembangunan ekonomi Indonesia. Dengan memaksimalkan penyaluran KUR dan mengkombinasikannya dengan kebijakan peningkatan investasi skala makro (salah satunya melalui program MP3EI), pemerintah dapat mendorong penguatan unit usaha mikro, kecil, menengah, maupun unit usaha skala besar secara bersamaan. Kombinasi kebijakan seperti ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi tantangan perdagangan bebas, khususnya dalam menghadapi gelombang Asean Economic Community pada tahun 2015. Pemerintah tentunya tidak menginginkan penduduk Indonesia hanya menjadi penonton dan konsumen di negeri sendiri ketika pasar domestik mendapat serbuan produk maupun investasi asing.
Namun demikian, penyaluran KUR sampai dengan saat ini masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah baik bagi pemerintah, perbankan, maupun para debitur untuk segera diselesaikan. Tingkat bunga KUR yang berada pada level 22% maksimum untuk kredit mikro dan 13% untuk kredit retail masih dianggap cukup tinggi oleh para pelaku usaha. Solusi yang disediakan pemerintah pada tahun 2013 melalui penetapan flat rate untuk suku bunga KUR sebesar 0,57% untuk sektor retail dan 0,95% untuk sektor mikro diharapkan dapat menjadi angin segar bagi pengusaha UMKM untuk semakin agresif dalam menggenjot kinerja usahanya melalui suntikan dana KUR. Adanya keluhan atau aspirasi dari sejumlah pelaku usaha yang merasa kesulitan untuk mengakses KUR harus menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dan perbankan untuk secara berkala melakukan evaluasi terhadap format maupun persyaratan dalam pemberian KUR agar tidak berdampak kontraproduktif terhadap penyaluran KUR kepada unit usaha yang membutuhkan.

Uraian diatas telah menunjukan bahwa KUR merupakan sebuah terobosan kreatif dari pemerintah untuk mengatasi bottleneck dalam pengembangan unit-unit usaha mikro yang sangat potensial untuk dikembangkan namun memiliki kendala dalam mengakses permodalan yang disediakan oleh perbankan. Bagi UMKM, KUR tidak hanya berperan sebagai “oase” ditengah sulitnya memperoleh “mata air” permodalan dari perbankan, tetapi sekaligus menjadi pemacu aliran semangat kreatif, kerja keras, dan kewirausahaan bagi para pelaku usaha. Di saat yang sama, KUR pun merupakan kebijakan strategis bagi pemerintah dalam upaya penguatan UMKM selaku pilar sektor swasta domestik untuk mencapai visi pembangunan yang lebih luas, penciptaan kemandirian ekonomi Indonesia. Namun demikian, sejumlah kendala dalam penyaluran KUR harus terus dievaluasi untuk sesegera mungkin dihasilkan solusi yang efektif bagi upaya peningkatan penyaluran KUR bagi UMKM.